recommended song: What Should We Finish ~ Soyeon T-ara
Donghae tersenyum memperhatikan Boram, kekasihnya. Donghae sadar dia tak secantik dan sesempurna gadis lain, namun dia menyukainya, benar-benar mencintainya.
Dengan susah pAppa Donghae mendapatkan Boram, gadis yang lain dari lainnya. Dia begitu tertutup, pendiam, dan yang lebih penting lagi, dia tak begitu suka berdandan seperti gadis kebanyakan.
Boram adalah teman donghae sejak SMP, namun dia baru bisa mendapatkannya setelah lulus kuliah. Donghae bangga dengan pengorbanannya selama ini menunggu Boram menerima cintanya. Karena bagaimanapun juga Donghae tahu bahwa Boram juga sangat mencintainya, meski Boram tak pandai mengungkapkannya.
###
Hari ini adalah hari kematian satu-satunya orang tua Boram. Appanya meninggal dalam pembunuhan tragis. Donghae dengan sabar menunggu Boram yang masih terdiam di makam Appanya. Sekarang dia yatim piatu, Donghae tahu itu.
Donghae melihat Boram terdiam, sejak Boram tahu Appanya meninggal, dia sama sekali tak menangis. Donghae berpikir gadis ini begitu kuat. Dia begitu kuat menyimpan semuanya sendirian, maka dari itu, sejak dulu Donghae selalu ingin satu-satunya orang yang bisa menjadi tumpuan Boram. Gadis yang terlihat kuat walau sebenarnya dia sangat rapuh.
“Boram-ah, kau boleh menangis disat seperti ini.” Donghae berkata sambil memegang pundak Boram.
Boram diam saja.
Donghae merangkul Boram dan membawanya kedalam pelukannya. “Menangislah… aku tahu kau ingin menangis. Itu tidak salah.” Donghae membelai lembut rambut Boram yang pendek dan halus itu. Namun Boram menepisnya.
“Kau tenang saja.” Kata Boram sambil melepas pelukan Donghae.
Donghae sudah terbiasa dengan hal ini.
“Kita pulang saja.” Ajak Boram.
###
Ini pertama kalinya Boram ke rumah Donghae. Boram merasa agak canggung dengan rumah asing ini.
“Anggap saja ini rumahmu Boram-ah.” Kata Donghae gembira sambil mempersilahkan Boram duduk di sofa ruang tamunya.
Boram menggangguk kaku.
“Kau santai saja! Eommaku sedang menginap di rumah Halmeoni. Dan Appaku masih belum pulang dari perusahaannya.” Jelas Donghae. “Kau mau minum sesuatu?”
“Apa saja.” Jawab Boram.
Donghae tersenyum kecut, dia tahu Boram masih berduka. “Baiklah. Tunggu saja disini!” Donghae pun pergi ke dapurnya.
Boram melihat-lihat ruang tamu Donghae. Dia beridir dan berjalan menuju sebuah lemari yang tidak begitu tinggi. Dia tasnya terdapa bebrpa hiasan mewah yang serasi dengan rumah mewah ini. Di sebelah sebuah guci kecil, Boram melihat sebuah frame. Terlihat foto Donghae dengan kedua orang tuanya. Boram mengambilnya dan mengamatinya.
Alangkah terkejutnya dia saat melihat wajah Appa Donghae. Boram benar-benar tak mengangka. Seketika Boram kembali mengingat malam di mana Appanya meninggal.
FLASH BACK
Malam sudah larut saat Boram pulang ke rumahnya. Dia lelah setelah seharian berada di universitasnya mengerjakan tugas yang sudah menumpuk. Saat Boram masih berjalan menuju rumahnya, dia melihat seorang pria berjas keluar dari rumahnya lalu memasuki sebuah mobil sedan mewah. Dengan cepat mobil itu berjalan. Namun saat mobil itu melewati Boram, Boram bisa melihat wajah tampan dari pengemudianya uyaitu pria yang baru saja keluar dari rumahnya.
Boram sedikit bertanya-tanya, karena dia tak mengenali pria itu. Boram hanya berpikir bahwa dia adalah teman Appanya. Boram pun memasuki rumahnya. Rumahnya sangat sepi waktu itu. Namun dia hanya berpikir bahwa Appanya hanya sedang tidur. Namun saat Boram melewati pintu kamar Appanya yang tertutup, Boram melihat genangan darah yang keluar melalui celah bagian bawah pintu kamar itu.
Boram dengan gugup membuka perlahan pintu kamar Appanya. Setelah itu dia tak menjerit ataupun berkata apa-apa. Dia melihat mayat Appanyatergeletak janggal di lantai. Lantai kamar yang tadinya berwarna putih bersih, sekarang berubah merah. Boram sadar itu adlah darah Appanya yang tergenang. Boram masih bisa melihat darah yang mengalir dari leher Appanya yang hampir putus.
Boram terduduk, dia tak bisa bergerak, badannya melemas. Dia membiarkan celananya terkena darah. Dia harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya yang tersisa juga harus pergi untuk selama-lamanya.
Boram langsung teringat cuplikan-cuplikan saat ia kecil dan Appanya suka menggendongnya sambil berkeliling taman. Boram menyesal harusnya dia pulang lebih cepat. Mungkin dengan begitu dia bisa mencegah Appanya mati.
FLASH BACK END
Boram masih memegang frame foto itu dengan gemetar. Dia ingat jelas wajah Appa Donghae adalah wajah yang ia lihat sedang menyetir mobil setelah keluar dari rumahnya, di malam Appanya terbunuh.
“Kau sudah melihat foto Appa dan Eommaku?” tanya Donghae yang datang membawa dua gelas jus jeruk. Boram terkejut dan masih gemetar.
Donghae meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja.
“Gwenchanayo?” tanya Donghae yang melihat Boram memucat.
“Gwe..gwenchana.” jawab Boram lalu dengan cepat meletakkan frame foto itu.
Boram segera kembali ke sofa, “Boleh aku minum ini?”
“Tentu. Kenapa kau masih canggung denganku?” jawab Donghae.
Boram segera meminum jus jeruk itu untuk membantu menenangkan dirinya sendiri.
“Jeongmal gwenchana?” tanya Donghae lagi.
Boram mengangguk sambil masih meminum jusnya.
Donghae hanya tersenyum dia sadar kadang Boram terlihat seperti gadis 9 tahun yang harus dilindungi. Dia makin menyukai Boram yang tak bisa ditebak itu.
Tak lama kemudian, Boram memutuskan untuk pulang. Saat sampai di pagar rumah donghae, Boram melihat mobil sedan yang pernah dilihatnya.
Appa Donghae pulang dan keluar dari mobilnya.
Donghae dengan senang memperkenalkan Boram padanya, “Appa, ini Boram, gadis yang selalu aku ceritakan padamu.”
Boram makin memucat saat berjabat tangan dengan Appa Donghae. “Jeon Boram imnida.” Kata Boram.
Appa Donghae agak berjengit saat mendengar nama Boram, namun dia menyamarkannya dengan tertawa, “Kau memang terlihat seperti apa yang Donghae ceritakan. Aku heran kenapa dia bisa menyukaimu.”
“Appa! Jangan berkata seperti itu.” Kata Donghae, wajahnya memerah.
Boram tersenyum kecut.
“Sudahlah sebaiknya kau pulang sekarang. Aku akan mengantarmu.” Kata Donghae pada Boram setelah Appanya masuk ke dalam rumah.
“Ani, kau tak perlu melakukannya. Aku bisa pulang sendiri.” Tolak Boram.
“Kau ini bagaimana? Kau kan kekasihku! Aku harus bertanggung jawab atasmu. Aku harus memastikanmu pulang dengan selamat. Kajja!”
Boram selalu tak bisa melawan Donghae. Mungkin karena tak tega.
###
Boram tak bisa tidur semalaman. Dia terus memikirkan Appa Donghae. Dia juga terus memikirkan Donghae. Boram memang tak pernah bercerita pada siapa-siapa bagimana tepatnya dia menemukan Appanya mati. Jika Boram membicarakan ini pada Donghae, Boram tak bisa karena ini akan membuat Donghae terluka.
Semua bukti menunjukkan Appa Donghaelah yang membunuh Appanya, Boram tak bisa berbuat apa-apa. Dia memang tak tahu harus berbuat apa. Dia memang langsung menganggap Appa Donghaelah yang membunuhnya. Dan hal itulah yang membuatnya serba salah dan bingung.
###
Dengan lemas Boram membuka pintu rumahnya. Dia baru sadar langit diluar sudah gelap. Seketika dia mendapat pelukan hanya dari tamu yang baru saja membuat gaduh dengan menekan bel dengan berlebihan.
“Boram-ah! Gwenchanayo? Kenapa kau tak kuliah hari ini? Kenapa kau tak mengangkat ponselmu?” tanya Donghae sambil melepas pelukannya.
Belum sempat Boram bicara, Donghae sudah menyentuh dahinya dan merasakan panas yang tak biasa.
“Bagaimana bisa kau sepanas ini?” tanya Donghae. “Kenapa kau tak bilang padaku bahwa kau sakit?”
Dengan cepat Donghae menidurkan Boram di sofa ruang tengah rumah sederhana namun nyaman itu. Boram hanya menurut saja. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Kau istirahat saja disini. Aku akan buatkan kau bubur. Dimana kotak obatmu?”
“Di dapur.” Jawab Boram lemas.
Beberapa menit kemudian Donghae kembali ke ruang tengah dengan semangkok sup dan sebuah obat demam.
Donghae dengan cekatan mendudukkan Boram dan menyuapinya.
“Kau tak perlu lakukan ini…” kata Boram masih lemah.
“Harus kukatakan berapa kali? Kau tak perlu sungkan denganku.” Kata Donghae.
Boram memperhatikan Donghae yang dengan tulus dan penuh kasih sayang menyuapinya.
“Aku takkan memaafkanmu jika kau seperti ini lagi.” Kata Donghae, kali ini dia mengambil obat dan meminumkannya pada Boram.
Boram hanya terdiam dan masih memperhatikan Donghae.
“Mianhae…” kata Boram tiba-tiba.
Donghae tersenyum “Gwenchanayo. Memang akhir-akhir ini kau kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu hingga membuatmu gundah seperti ini?”
“Ne, mungkin aku memang sedang gundah dan sangat gelisah.” Jawab Boram. Tak biasanya dia mengungkapkan perasaannya.
“Tak apa jika kau tak mau memberitahuku alasannya. Tapi kau boleh berbagi kegundahan itu denganku. Aku bersedia melakukan apa saja ntuk membuatmu ceria.”
Boram hanya menatap Donghae.
“Wae?” tanya Donghae. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Kau tidak lelah terus mengurusiku seperti ini?” tanya Boram.
“Aniyo. Andwe!” jawab Donghae.
Tak lama setelah itu, Donghae memeluknya. Meskipun itu membuat Boram merasa tak enak dan canggung, namun Donghae tetap ,memeluknya dengan lembut hingga membuat Boram tertidur dalam pelukannya.
Donghae tersenyum bahagia melihat wajah damai Boram yang tertidur di pelukannya itu. “Tenanglah… aku akan selalu menjagamu.”
###
“Yeoboseyo?” Boram menjawab ponselnya.
“Boram-ah! Kau sudah sembuhkan?” tanya suara Donghae di seberang sana.
“Ne, weyo?”
“Bisa kau datang ke rumahku? Appa dan Eommaku sedang pergi. Bisa kau temani aku?”
“Lalu?”
“Kita bisa membakar daging disini? Aku baru saja membeli daging sapi kesukaanmu. Jebal…”
“Ne, Baiklah.”
“Baiklah. Biarkan aku menjemputmu sebentar lagi. Ohya, apa kau punya pisau daging?”
“Ne, kau mau aku membawanya?”
“Ne. gomawo.”
Setelah sampai di rumah Donghae, Donghae Segera membersihkan daging sapi yang sudah di belinya tadi.
“Mana pisau dagingmu?” tanya Donghae pada Boram yang sibuk menyiapkan bumbu.
“Mian, ternyata punyaku hilang.” Jawab Boram.
“Hilang? Lalu bagaimana kita memotong ini?” tanya Donghae sambil menujukkan daging sapi tadi.
Boram menggeleng tanda tak memiliki jawaban.
“Baiklah. Bisa kau bantu aku mencari di gudang? Mungkin Eommaku menyimpannya disana.”
Boram mengikuti Donghae ke gudang.
Donghae membuka beberapa kardus namun tak menemukan apa-apa. Sedangkan Boram dia menemukan sebuah kotak kayu yang cukup berat. Boram pun membukanya. Betapa terkejutnya dia melihat setelan jas yang ada di dalamnya. Ada noda darah di jas itu.yang lebih mengejutkan lagi, di balik lipatan jas itu, Boram menemukan sebuah pisau daging berlumuran darah yang sangat ia kenal. Boram tercekat.
“Boram-ah? Gwenchanayo? kau menemukan pisau?” tanya Donghae yang melihat Boram membeku.
Donghae menghampiri Boram dan melihatnya memegangi sebuah pisau daging yang kotor. “Wah! Kaumenemukannya. Tapi… itu kotor sekali.”
Boram masih tercekat dan terbelalak melihat pisau itu.
“Jangan kuatir, kita bersihkan saja!” Kata Donghae sambil mengambil pisau itu dari tangan Boram.
Boram terlihat murka, dia mengambil pisau itu lagi dari tangan Donghae. Kini dia yakin Memang Appa Donghae yang membunuh Appanya. Hatinya makin gusar. Namun emosi mendominasi hatinya. Dengan segera Boram melangkah pergi menuju pintu keluar rumah Donghae.
Donghae menyusul Boram dengan heran, “Boram-ah! Weyo? Kau mau kemana?”
Boram berbalik dan bertanya, “Dimana Appamu sekarang?”
“Appa? Dia ada di kantornya. Weyo?” Donghae makin tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Setelah mendengar jawaban Donghae, Boram segera beranjak pergi tanpa mempedulikan Donghae.
“Boram-ah! Jawab aku! Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kau mau kemana?” teriak Donghae, lalu dia menarik lengan Boram.
“Jebal… jangan selalu seperti ini! Apa yang terjadi? Wegeurae?” tanya Donghae. Dia benar-benar khawatir.
Boram menoleh dan menatap Donghae. Dia melihat wajah khawatir Donghae, ya dia terlihat begitu khawatir pada Boram.
“Jebal…. Malhaebwa…” Donghae mulai berkaca-kaca.
“Mianhae… Jeongmal mianhae…” Jawab Boram. Dia juga berkaca-kaca.
Baru kali ini donghae melihat Boram menangis. Tiba-tiba Boram mencium Donghae “Saranghae. Jeongmal saranghae…” kata Boram lalu pergi meninggalkan Donghae yang terkejut setengah mati.
Ini pertama kalinya Boram melakukan itu semua. Ini pertama kalinya Boram mencium Donghae dan mengatakan perasaannya yang sebenarnya. Donghae bisa merasakan segumpal kebahagiaan dihatinya. Namun dia khawatir dengan apa yang terjadi pada Boram. Ini diluar kekuasaan Donghae. Donghae kehilangan jejak Boram untuk menyusulnya. Donghae tak tahu Boram pergi kemana.
###
Karena Boram bertanya dimana Appanya, Donghae segera menuju ke kantor Appanya. Namun ditengah perjalanan, ia terjebak macet hingga dia harus berlari 200 meter jauhnya untuk sampai ke kantor Appanya.
Dengan terengah-engah, akhirnya Donghae sampai di kantor Appanya. Dia makin khawatir melihat beberapa mobil polisi terparkir di depan kantor Appanya. Saat masuk ke dalam, Donghae sangat bingung karena orang-orang berlarian dan terlihat bingng dan takut. Bebrapa diantaranya menangis.
Donghae menuju lantai teratas yaitu menuju ruangan Appanya. Donghae makin menggila melihat garis polisi melingkari bagian depan ruangan Appanya. Cukup banyak poliisi disana, beberapa pegawai berkerumun ingin menghindarkan pegawai yang berkerumun.
Donghae mendekat, ia juga sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah dia berhasil menembus kerumunan, ia melihat Appanya yang terlihat tidur namun matanya terbelalak dan dadanya berlumuran darah. Lantai kantor sudah tergenangi darah Appanya.
“APPA!!!!” jerit Donghae histeris. Dia mendekat meski dihalangi oleh polisi yang berada di sana.
“Sebaiknya anda mundur.” Kata salah satu polisi.
“ANDWE! Dia Appaku…. Aku anaknya…” Donghae mulai menitihkan air matanya. Dia tak mengira akan terjadi hal yang mengerikan seperti ini pada Appanya.
“Nugu? Siapa orang yang berani melakukan ini?” teriak Donghae. Semua pegawai yang melihat terlihat prihatin dan saling berbisik.
Lalu salah satu asisten Appa Donghae menarik badan Donghae, “Donghae-ah… sudahlah. Direktur utama sudah tiada… kau harus merelakannya…”
“Ajushi… siapa yang melakukan ini? Nugu?” Tanya Donghae lagi.
“Dia…” pria itu menunjuk seorang mayat yang sedari tadi tergeletak di samping Appa Donghae.
Donghae melihatnya lewat matanya yang buram terkena air mata. Sosok mayat itu sangatlah ia kenali. Ya ia mengenal gadis yang selama ini dicintainya tergeletak disana.
FLASH BACK
Boram sampai di kantor Appa Donghae. Hatinya masih dipenuhi emosi. Dia langsung menuju resepsionis dan menanyakan ruangan direktur utama. Resepsionis pun memberitahunya bahwa ruangan direktur utama ada di lantai paling atas.
Boram berjalan kesana dengan mata berkaca-kaca namun hatinya sudah buta dan terbakar dendam. Dia menuju ruang Appa Donghae walaupun sekertarisnya menghalanginya. Boram membuka paksa pintu ruangan itu. Dia mulai mengeluarkan pisau daging yang bernoda darah itu dari balik jaketnya.
“Aku tak bisa membiarkan orang yang membunuh Appaku hidup tenang..” kata Boram lirih.
Appa Donghae terkejut bukan main. Dia juga langsung sadar gadis ini adalah putri lawan bisnisnya yang telah mengetahui rahasia kotor bisnisnya. Dan juga putri lawan bisnisnya yang telah ia habisi nyawanya.
“Suruh gadis ini keluar!” teriak Appa Donghae.
Beberapa pegawai dan asisten Appa Donghae berusaha menyuruh Boram keluar dan menyeretnya dengan takut akibat pisau daging yang cukup besar di tangannya itu.
Dengan kuat Boram melawan semua pegawai dan asisten Appa Donghae. Dia menghampiri Appa Donghae yang terpojok dan dengan cepat menusukkan pisau yang dipegangnya ke dada Appa Donghae.
Seketika Appa Donghae melemas. Semua pegawai yang berkerumun berteriak histeris melihat direktur utamanya yang sekarat. Ternyata salah satu pegawai telah memanggil polisi sehingga beberapa polisi dating.
“Letakkan pisaumu!” perintah salah satu polisi kepada Boram.
Boram tak mempedulikannya. Sekarang air matanya mengalir deras. Dia terduduk di samping tubuh Appa Donghae.
“Mianhae Appa…………..” kata Boram lirih. Dia terlihat menyesal.
Tiba-tiba semua orang menjerit lagi melihat Boram menusukkan pisau yang dibawanya ke jantungnya.
FLASH BACK END
Donghae menghampiri tubuh Boram yang sudah tak memiliki tanda-tanda kehidupan. Dia memeluknya dengan menangis hebat, “BORAM-AH!!!! KENAPA KAU PERGI SEPERTI INI? KENAPA HARUS BERAKHIR SEPERTI INI?”
Donghae benar-benar tak bisa menerima akhir dari cinta yang tragis. Dia tak bisa berhenti memeluk tubuh Boram yang berlumuran darah. Inilah akhir cintanya. Terdapat begitu banyak teka-teki di otaknya tentang peristiwa perginya dua orang yang dicintainya ini.
THE END