“Yeoboseyo?”
seorang gadis menjawab ponselnya yang sebenarnya berdering sedari tadi,
berkali-kali.
“Jieun-ah! Kenapa kau tak angkat
teleponmu?” suara di seberang sana bertanya dengan nada ceria namun sedikit
kesal.
“Mian, aku sedang menyetir tadi.” Jawab
Jieun jujur.
“Kenapa kau tak bilang ambil cuti hari
ini? Apa kau sakit?”
“Ani, aku hanya lelah.” Jawab Jieun
berbohong, “Baiklah, aku hubungi kau lagi nanti.” Jieun memutus teleponnya,
memasukkan ponselnya dalam tas yang tergantung di pundaknya dan memasuki
ruangan dokter pribadinya.
“Kau melewatkan dua kali pertemuan kita.
Kerugiannya keadaanmu menurun 5%. Sudah ku bilang, kau tak perlu menghindar.
Kau hanya perlu menjalani terapi ini, aku yakin kau akan membaik.” Jelas dokter
setelah memeriksa Jieun.
Jieun tesenyum, “Aku terlalu sibuk
akhir-akhir ini. Jangan berpikir berlebihan. Berpikir aku menyerah dan
mengabaikan penyakit ini, aku tak seperti itu. Meski aku tahu seberama lama
sisa hidupku.”
“Baiklah kalau itu memang apa yang kau
pikirkan. Tebus obat ini ke apotek.” Dokter mengulurkan resep pada Jieun.
Jieun membuka jendela kamarnya yang ada
di lantai dua itu, mencari udara malam yang segar agar menggantikan udara yang
ia rasa sesak di dalam kamarnya.
Jieun merasa lelah setelah pergi seharian,
namun ia ingat janjinya, lalu mengambil ponselnya, menghubungi Jiyoung, teman
kantornya, satu-satunya orang yang bisa ia sebut sahabatnya saat ini.
“Aku kira kau lupa menghubungiku lagi.”
Suara Jiyoung terdengar ceria seperti biasa.
“Tak mungkin. Aku selalu menepati janjiku
kan?” Jieun tersenyum, ia kini berdiri di depan jendelanya sambil menatap
keluar. Kamar di seberang, yang kira-kira berjarak 7 meter itu tampak menyala,
menggantikan pemandangan gelap tak berpenghuni seperti yang biasa ia lihat.
Jieun mengira rumah sebelah sudah punya pemilik baru.
“Ne, arasso manajer” Jiyong menjawab
dengan bosan. “Kau orang paling jujur sedunia.”
Jieun tersenyum pahit.
“Jadi kau besok tidak cuti lagi kan?
Tidak ada kau sehari, rasanya bagian pemasaran sudah berantakan.”
“Ne, aku akan datang besok.” Jieun
sebenarnya ingin duduk di luar, di berandanya, namun udara terlalu dingin untuk
kesehatannya hari ini. Jieun bisa melihat pemilik rumah sebelah masuk ke
kamarnya, seorang lelaki.
“Ya, jelas kau harus masuk, Pak Kim sudah
sewenang-wenang seharian tadi, mentang-mentang kau tak ada.” Jiyoung kesal
mengingat rekan kerjanya yang sudah paruh baya itu, rekan kerja yang tak suka
pada Jieun karena dianggap merebut posisinya sebagai manajer pemasaran itu.
“Jincha?” Jieun tersenyum tipis.
“Geurae. Apa kau tahu apa yang dia
sebarkan pada pegawai baru yang dia bimbing?”
“Mworago?” Jieun melihat lelaki di kamar
rumah sebelah itu keluar, dia berdiri di berandanya juga menikmati udara segar
malam ini sambil melihat kesekeliling.
“Dia bilang pada mereka bahwa kau bisa
dengan mudah masuk perusahaan dan langsung menjadi manajer bukan karena
pendidikan tinggimu, tapi karena hubungan baikmu dengan Presdir.” Jelas Jiyoung
tanpa jeda.
Seketika itu waktu seakan berhenti, mata
Jieun melebar, mulutnya sedikit menganga, dadanya sedikit sesak, jantungnya
berdegup kencang, tubuhnya kaku. Pemandangan lelaki di seberangnya itu
mendominasi otaknya.
Semuanya kembali seperti semula, Jieun
sadar saat lelaki itu mengedipkan matanya, membuyarkan lamunan Jieun.
Mengetahui lelaki itu akan segera melihat ke arahnya Jieun dengan cepat
beranjak dari tempatnya berdiri tadi, bersembunyi di balik dinding kamarnya,
menjauhi jendelanya agar tak terlihat lelaki itu. Lelaki dengan wajah
malaikatnya itu.
“Yeoboseyo? Jieun-ah?” suara Jiyoung
terdengar dari ponsel yang sedari tadi masih di dekat telinga Jieun.
“Ah.. n..ne?” Jieun kembali ke dunia
nyata.
“Apa kau tertidur? Kalau kau lelah
sebaiknya tutup saja teleponnya dan tidurlah. Ok?”
“Ah.. ani.. aku hanya melamun.”
“Melamun? Melamunkan apa?” tanya Jiyoung
penasaran, “Melamunkanku? Satu-satunya bawahanmu yang paling setia dan kerja
keras?” Jiyong terkekeh menggodanya.
Jieun tersenyum, “Itu hanya mimpimu.”
Jiyoung terbahak, “Baiklah, aku tahu.
Tutup saja teleponnya, aku juga mengantuk. Malam!” Jiyoung yang memutus
teleponnya.
Jieun mengintip ke luar jendelanya dengan
hati-hati, memastikan lelaki itu sudah tak berada di tempatnya tadi dan segera
menutup jendelanya lalu beranjak tidur.
***
“Aigoo.. kenapa aku selalu seperti ini?”
gumam Jiyoung pada dirinya sendiri saat ia berlari setelah menuruni bus menuju
kantornya. “Permisi…permisi..” katanya pada orang-orang yang ia lewati.
Jiyoung berkali-kali melihat jam
tangannya, ia hampir terlambat. Dia tidak mau lagi gajinya dipotong karena
keterlambatannya yang sudah kesekian kalinya ini.
Dia sudah hampir sampai di kantornya saat
tiba-tiba ia terjatuh karena hak sepatu tuanya patah sebelah. Seorang lelaki
yang sedang duduk di kursi taman yang ada di sepanjang trotoar itu melihatnya
sambil memakan burger yang sepertinya adalah sarapannya. Lelaki itu menatapnya,
menahan tawanya melihat kecerobohan Jiyoung.
Jiyoung berusaha berdiri dengan susah
payah, ia sadar lelaki di sebelahnya itu sedang memperhatikannya. Jiyoung
merasa kesal seketika melihatnya. “Percuma saja wajahnya setampan itu tapi
hatinya tidak baik.” Gumamnya kesal.
Tiba-tiba sebuah tangan terulur di depan
mata Jiyoung, lelaki itu sudah berdiri bermaksud membantu Jiyoung berdiri.
Jiyoung tercekat, presepsi awalnya salah besar, lelaki itu tersenyum
memancarkan kebaikkannya.
Jiyoung melihat burger yang tadi ada di
tangan lelaki itu sudah terbuang. “Ne?” Jiyoung malah tak tahu harus merespon
apa.
“Kau perlu bantuan kan?” tanya lelaki
itu, masih dengan senyum manisnya.
“Oh..ne.” Jiyoung meraih tangan lelaki
itu dan berhasil berdiri. “Kamsa hamnida.”
“Apa kau terlambat ke tempat kerjamu?”
tanyanya.
Jiyoung mengangguk, “Maka dari itu aku
lupa sepatuku ini sudah tua.” Jawab Jiyoung jujur.
“Kau kerja dimana?”
“Disana.” Jiyoung menunjuk gedung tinggi
yang tak jauh di depan mereka.
Lelaki itu mengangguk mengerti.
“Baiklah, aku harus segera pergi, mereka
bilang akan ada direktur baru, tak tahu dia orang yang baik atau tidak. Entah
hukuman apa yang aku dapat di hari pertamanya.” Jelas Jiyoung, lalu berusaha
berjalan dengan cepat menuju kantornya.
Lelaki itu tiba-tiba meraih lengan
Jiyoung membantunya yang berjalan terpincang. “Kubantu kau, aku juga berkerja
disana.” Dia tersenyum.
“Oh? Apa kau orang baru?” tanya Jiyoung.
“Aku belum pernah melihatmu.”
“Ya, ini hari pertamaku.” Jawabnya.
“Selamat kalau begitu!” Jiyoung tersenyum
tulus. “Dibagian mana?”
“Pemasaran.”
“Ne? aku juga disana. Berarti aku
seniormu.” Kata Jiyoung percaya diri. “Kau bisa minta bantuanku. Ohya, kau
harus bersikap sebaik mungkin, kita belum tahu direktur baru itu seperti apa.”
Lelaki itu hanya tersenyum.
Sekarang mereka sudah sampai di kantor,
Jiyoung sudah berada di mejanya, dia sudah tak melihat lelaki itu lagi.
“Kau terlambat lagi?” tanya jieun
menghampiri Jiyoung yang memijat kakinya. “Waegeurae?”
Jiyoung tersenyum dengan perasaan tak
enak, dia sadar Jieun yang selalu membantunya keluar dari masalah saat dia
terlambat. “Ne, ini hanya kecelakaan kecil.”
Jieun melihat sepatu Jiyoung yang sudah
tak berhak. “Harusnya kau mau saat aku mengajakmu ke toko sepatu waktu itu.”
“Kau butuh salep atau apalah itu.” Kata
Jieun. “Dan mian aku tak bisa mencarinya
untukmu saat ini. Akan ada perkenalan direktur pemasaran baru sebentar
lagi.” Jieun bergegas pergi setelah menepuk pundak Jiyoung.
“Ne manajer.” Jawab Jiyoung tersenyum,
dia selalu kagum dengan Jieun yang selalu baik dalam pekerjaannya dan tentunya
selalu tepat waktu, tidak seperti dia. “Aduh..” Jiyoung memegangi perutnya dan
malah bergegas ke toilet.
***
Jieun menyuruh bawahannya untuk merapikan
pakaian mereka sebelum direktur pemasaran baru datang di ruang rapat ini.
“Manajer, bagaimana jika direktur yang
baru galak sekali?” tanya seorang karyawan yang bernama Sohyun. Dia terlihat
khawatir.
Jieun tersenyum menenangkan, “Tenanglah,
kau bisa mengandalkanku.”
“Selamat pagi!” wakil presdir masuk
dengan sapaannya, senyumnya terlihat tegas.
Semua karyawan membungkuk memberi hormat,
tak terkecuali Jieun, mereka semua mengantisipasi orang yang berjalan di
belakang wakil presdir, Direktur baru mereka.
“Baiklah, setelah direktur yang lama
diturunkan karena kecurangannya, dan tentunya atas bantuan Lee Jieun-ssi,
direktur baru kalian akan mulai berkerja mulai hari ini, mohon kalian bantu dia
menyesuaikan diri.” Wakil presdir melangkah ke pinggir mempersilahkan lelaki di
belakangnya maju, “Perkenalkan dia Kim Myungsoo, direktur baru kalian, putra
bungsu presdir kita.”
Lelaki itu tersenyum lalu membungkuk,
“Kim Myungsoo imnida, mohon bantuannya.”
Jieun tercekat, matanya kembali melebar,
mulutnya sedikit terbuka, jantungnya berdegup kencang, dadanya terasa sesak.
Dihadapannya, berdiri lelaki yang sekarang tinggal di rumah sebelahnya itu.
Lelaki yang mempunyai kamar di seberang kamarnya. Lelaki yang menjatuhkan
hatinya, Kim Myungsoo, direktur barunya, putra bungsu dari presdirnya sendiri.
TO BE CONTINUED...
halo, aku gak sengaja nyari ff myungjjing di google dan nemuin blog ini'-' /gapenting
BalasHapusbahasanya keren thor, ceritanya juga ga mumet-mumet(?)
disini fokusnya kayanya ke jieunnya ya, soalnya dari awal udah ke dia sama myungsoo, padahal aku pengennya sama jiyoung ajaa TT
ceritanya kaya cinta pertama diantara tetangga oleh myungsoo dan jieun yakan (?)
next chap banyakin myungjjingnya dong thor atau kalau bisa pairingnya myungjjing aja (?)
next chap ditunggu ya sama akuu<33
ah welcome ^^ keep reading aja ya.. makasih udah baca. bakal segera di update next partnya kok. dan karena ini ff aslinya udah tamat (cuma blm aku publish) kyaknya keinginanmu tercapai... XD
Hapuswah
BalasHapusternyata disini ada ff IU
lanjut donk thor :-)
ok. ^^
Hapusmakasih udah baca ^^
Lanjutkan Lanjutkan!! ><
BalasHapusok. bakal cepet aku update. makasih uda mampir ke blogku ^^.
Hapusannyeong,,,
BalasHapussalam kenal,,,
aku bru nemu blog kmu,,,
ff'na keren",,hehehehe,,
dtunggu lnjutannya yah,,;-)
anyeong^^ salam kenal juga.
Hapusmakasih udah nemuin blogku n jadi pembaca disini kkk XD
wah myungsoo - jiyoung!!! cocok juga kekeke^^ seru author:)
BalasHapus