Halaman

Jumat, 05 April 2013

[FANFIC] The Sacrifice (part 2)



Jiyoung terbelalak, dia menggabungkan semua kejanggalannya. Jiyoung serasa di tampar keras-keras. Jiyoung hanya menatap Jieun dengan wajah minta diselamatkan, dia sama sekali tak berani menoleh pada Myungsoo yang sedari tadi memperhatikannya.

       Jieun tersenyum pada Myungsoo, menandakan dia tahu apa yang sedang terjadi. Dia mulai bicara, “Sepertinya kau sudah akrab ya dengan direktur?”
       “Manajer kita mau malanjutkan makan siangnya? Silahkan, aku sudah selesai, maaf mengambil tempatmu.” Kata Myungsoo lalu berdiri beranjak pergi.
       “Ehm… aku.. aku..” Jiyoung terbata. “Aku merasa ditipu.” Kata Jiyoung, akhirnya dia memberanikan diri menatap Myungsoo. Sepertinya Myungsoo tidak mengira reaksi Jiyoung itu.
       “Ne?” Myungsoo takut salah dengar.
       “Aku merasa ditipu oleh direktur, kenapa direktur tidak mengatakannya lebih awal dan membuatku mempermalukan diriku lebih dalam?” tanya Jiyoung marah.
       “Aku?”                                                          
       “Ya! Seharusnya direktur menyelamatkan nasib karyawannya yang sedang tertekan ini.”
       Myungsoo tertawa tipis. Dia tak bisa bicara apa-apa. Dan Jieun sadar, Kang Jiyoung yang seperti inilah yang membuat Kim Myungsoo menyukainya. Dan Jieun tahu, Kim Myungsoo makin menyukai gadis jujur dan ceria itu.
***
       Jieun tersenyum pahit membaca pesan singkat penyemangatnya tiap hari itu dari Jiyoung. Pesan-pesan yang dikirim Jiyoung untuk Jieun selalu bisa membuatnya tersenyum, namun kali ini dia tahu kenyataan pahit bahwa, satu-satunya orang yang bisa membuatnya jatuh hati saat pandangan pertama menyukai Jiyoung, bukan dirinya. Dan Jieun berpikir mereka sangat cocok, karena hidup mereka masih lama di dunia ini, tidak sepertinya.
       “Jadi di sini kau tinggal manajer Jieun-ssi?” suara Myungsoo tiba-tiba terdengar, dia ternyata sedari tadi sedang memperhatikan Jieun yang sedang bersantai di berandanya, menikmati suasana sore yang tentram.
       Jieun jelas terkejut, dia sontak berdiri dan membungkuk memberi salam, “Ne, anyeong haseyo.”
       Myungsoo tersenyum, “Sepertinya keterkejutanmu bukan karena aku ternyata juga tinggal disini. Kau sudah tahu aku tetangga barummu?”
       Jieun mengangguk jujur, “Ne, saat direktur baru datang, saya sudah tahu.”
       “Dan kau diam saja, tidak memberitahuku?”
       “Tidak ada waktu, dan saya juga baru tahu tetangga baru itu adalah direktur di perusahaan tempat saya berkerja.” Jelas Jieun.
       “Begitukah..” Myungsoo duduk di kursi malasnya yang berada di depan pagar berandanya. “Jadi begini kegiatan soremu saat tak ada perkerjaan?”
       Jieun mengangguk kaku.
       Myungsoo tersenyum lagi, “Duduklah, tak perlu canggung denganku, di luar kantor kita harus jadi tetangga yang akrab.”
       Jieun pun duduk kembali,matanya tak bisa berpaling dari lelaki di seberangnya itu.
       “Bisa rekomendasikan hal apa yang bagus dilakukan disaat seperti ini?”
       “Moreugeseoyo..” Jawab Jieun, “Jujur saja aku tak pernah melakukan hal apapun terutama untuk bersenang-senang, aku tak punya waktu untuk itu.”
       “Kau terlalu sibuk berkerja.”
       Jieun tersenyum simpul, “Direktur sendiri?”
       “Bisakah kau tak panggil aku direktur disini? Panggil namaku saja aku tak keberatan, itu jika kau keberatan memanggilku oppa.”
       “Ne, Kim Myungsoo-ssi.” Jawab Jieun.
       “Ya, kau memang berbeda dengan temanmu.”
       Jieun menyadari Jiyoung lah yang dimaksud. “Kang Jiyoung?”
       “Ya, benar, dia terlalu blak-blakkan.” Myungsoo tersenyum mengingat tingkah gadis itu.
       Jieun tersenyum miris, “Semua orang di kantor suka padanya, itu karena kepribadiannya yang baik dan ceria. Dia selalu membawa aura positif kemana saja.” Jelas Jieun, entah kenapa dia memikirkan sesuatu di dalam benaknya, membantu Myungso mendapatkan hati Jiyoung, karena Jieun tahu, hati Myungsoo tak mungkin untukknya.
       “Benarkah?” Jieun bisa melihat ketertarikan Myungsoo akan topik ini.
       “Hidupnya juga tak semudah kelihatannya, keluarganya yang serba kekurangan membuatnya harus sudah berkerja sambil sekolah semenjak dia berumur 10 tahun. Banyak yang bilang dia tak terlalu pintar, tapi aku tahu dia sangat tekun, dan itu yang membuatnya pintar.” Jieun tersenyum mengingat Jiyoung, “Meski dia juga cukup ceroboh. Karena hidup keluarganya yang seperti itulah dia selalu berusaha ceria apapun yang terjadi. Karena dia.. dia punya keluarga, keluarga sederhada yang selalu mendukungnya, menghiburnya, membuatnya kuat bertahan di dunia yang keras ini.” Dada Jieun tiba-tiba sesak, semua yang dia ucapkan barusan sama sekali tak ada dalam kamusnya, Jieun bahkan tak pernah mempercayai hal-hal itu, tidak sampai dia mengenal Jiyoung dan keluarganya, merasa iri dengan mereka dan saat ini Jieun sedang berusaha hidup sebaik mungkin di sisa hidupnya.
       Myungsoo berhenti tersenyum, dia menyadari perubahan atmosfer saat Jieun bicara tentang keluarga, yang Myungsoo tahu Jieun tak memilikinya.
       “Kau tahu?” Myungsoo menatap Jieun, “Keluarga seperti itu memang terdengar indah kan? Lalu yang seperti ini apa juga indah?”
       “Ne?” Jieun tak mengerti.
       “Seorang Appa yang gila kerja hingga istrinya mati karena penyakitnya. Lalu menikah lagi tanpa sepengetahuan anaknya dan tiba-tiba membawa dua orang wanita ke rumahnya, istri barunya dan anak tirinya. Apa itu bagus?”
       Jieun menyadari sesuatu, “Itukah keluargamu?”
       Myungoo tersenyum, “Ya, itu keluargaku.”
       “Bukankah itu menyebalkan?” tanya Jieun tanpa ditutup-tutupi. “Bukankah keluarga Jiyoung lebih baik?” Jieun meneruskan kata-katanya dalam hati, “Bukankah itu masih lebih baik dari keluargaku?”
       “Awalnya memang menyebalkan, aku menolaknya. Tapi aku pikir itu tidak buruk, bukankah aku jadi punya pengganti eommaku yang meninggal? Dan aku tak jadi putra tunggal lagi, aku punya saudara, dan dia sangat cantik.”
       “Jadi dia seorang noona?”
       “Ya, pernahkah kau mendengarnya?”
       “Siapa namanya?”
       “Park Gyuri dulu dia sempat berkerja di kantor, namun dia sebenarnya tidak suka dan sekarang dia sudah hidup di Kanada, dengan salonnya sendiri. Kau harus tahu semua keluarga itu baik. Semua indah dan bagus. Dan keluarga itu bukan hanya Appa, Eomma dan anak-anaknya, kau dan aku, itu cukup menjadi keluarga, kita tetangga, kita satu perusahaan. Bukankah kau dan Kang Jiyoung juga bisa disebut satu keluarga?”
       Jieun tersenyum,jelas rasa sukanya sedang sangat mengambang saat ini. Rasa sukanya pada lelaki sebaik itu, takkan pernah bisa dengan mudah ia lupakan. “Aku mengerti maksudmu Myungsoo-ssi.”
       “Jadi, kita sudah cukup untuk menjadi, setidaknya tetangga yang akrab kan?”
       Jieun hanya tersenyum. “Kau pintar bicara.”
       “Itu sedikit dari keahlianku.” Jawab Myungsoo senang, perkataannya berhasil membuat Jieun tersenyum, Jieun rekan kerja baru dan tetangga barunya yang ia ketahui sangat pahit jalan hidupnya.
       “Kau harus sering-sering bicara seperti ini pada Jiyoung, dia akan sangat menyukainya.” Kata Jieun lalu beranjak pergi, “Selamat malam.”
       Myungsoo tersenyum lagi, “Malam.” Cahaya matahari sudah sangat surup. Memaksa sore berganti menjadi malam.
***
       “Mwo dia tinggal di sebelah rumahmu?” Jiyoung terbelalak.
       Jieun mengangguk, “Ne, waeyo?”
       “Wah.. kau kasihan sekali Jieun-ah.. harus bertetangga dengan orang seperti itu.”Jiyoung menggelengkan kepalanya.
Jieun tersenyum, Dalam hatinya dia senang dengan kenyataan itu. ''Wae? Dia seburuk itu? Hanya karena dia menyembunyikan identitasnya padamu? Kau membencinya? Bukankah kau sendiri yang tak tanggap?''
Jiyoung melirik Jieun agak kesal, ''Kenapa sepertinya kau membelanya? Dia sendiri yang membohongiku.''
''Tapi di luar itu, dia bersikap baik kan padamu?''
''Baik apanya?'' Jiyoung memutar bola matanya.
Jieun memperhatikan setiap sikap Jiyoung yang menunjukkan bahwa dia bisa dengan mudah membalas perasaan Myungsoo itu. Sesuatu terlintas di otaknya, ''Dari yang aku lihat, sepertinya dia menyukaimu.'' kata Jieun santai, rencananya sudah dimulai.
''Mwo?'' Jiyoung menggelengkan kepalanya, ''Kuharap pernyataanmu yang ini tidak benar.'' Jiyoung berusaha mengindari kepekaan Jieun.
''Itu hanya menurutku. Kau lihat saja sendiri bagaimana nanti.'' Jieun berkata sambil berjalan menuju ruangannya, meninggalkan Jiyoung di mejanya dengan kebingungannya sendiri.    
***
''Boleh aku berkerja disini?'' tanya Myungsoo setelah dengan tiba-tiba masuk ke ruangan Jieun, tentunya membuat Jieun harus menjaga sikap dan perasaannya.
''Ne?'' tanya Jieun.
''Mereka agak berlebihan membersihkan ruanganku tadi. Hingga mereka memecahkan beberapa barang, sekarang sedang dibersihkan, dan aku tidak bisa berkerja dengan kegaduhan itu.'' jelas Myungsoo sambil melihat-lihat ruangan Jieun yang terlihat rapi dan nyaman. ''Lagipula kau bisa mulai membantuku dengan menjelaskan semua proyek yang ada.''
''Algeseumnida direktur.'' kata Jieun mengangguk, dia tak bisa menolaknya.
Jieun benar-benar memulainya, menjelaskan semuanya pada Myungsoo, satu-persatu hingga detil.
''Kerjamu selama ini memang bagus.'' kata Myungsoo.
''Gomawoyo.'' Jieun tersenyum.
''Manajer?'' Jiyoung membuka pintu ruangan Jieun, agak terkejut melihat Myungsoo ada di dalam.
''Jiyoung? Ada apa?''
''Karena sekertarismu cuti hari ini, pusat menyuruhku memberitahukanmu bahwa kau harus menemani direktur untuk mengecek lapangan di Busan, sekarang juga.''
Jieun merasa senang mendengarnya, namun ia segera teringat yang seharusnya ia lakukan, ''Benarkah. Sayang sekali aku punya urusan yang lebih penting hari ini.''
''Maksudmu kau tak bisa menemaniku?'' tanya Myungsoo.
Jieung mengangguk, ''Tapi dia bisa.'' Jieun menatap Jiyoung yang merasa ditampar.
''Aku?'' tanya Jiyoung tak percaya.
''Kau yakin?'' tanya Myungsoo.
Jieun mengangguk sekali lagi, ''Jangan salah, dia juga sering terjun ke lapangan, dia sudah berpengalaman.''
''Tapi..'' Jiyoung berusaha menolak.
''Kalian tidak mau membuang waktu kan?'' tanya Jieun lalu tersenyum ke arah Myungsoo. Dia tahu Myungsoo, jauh di lubuk hatinya menyukai hal ini. Menyukai kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Jiyoung.
''Cepatlah kalau begitu. Ini perintah dari pusat kan?'' kata Myungsoo pada Jiyoung sambil berjalan keluar ruangan.
Jiyoung menatap Jieun kesal.
Jieun malah tersenyum lalu mengepalkan tangannya, ''Hwaiting!''
''Mwo?'' tanya Jiyoung tak percaya lalu keluar dengan terpaksa.
Seketika senyum Jieun memudar setelah dia sendirian di ruangannya.
''Kuatkan dirimu Lee Jieun. Ini pilihanmu.'' gumam Jieun pada dirinya sendiri.
***

''Jadi ini tempatnya?'' tanya Myungsoo setelah menghentikan mobilnya.
''Geuraeyo.'' Jiyoung cepat-cepat melepas sabuk pengamannya dan segera turun dari mobil Myungsoo, seakan enggan berada di dalamnya bersama Myungsoo lebih lama lagi.
Myungsoo menyusul turun. Ia mengikuti Jiyoung yang memasuki sebuah pabrik tekstil yang berkerja sama dengan perusahaan mereka itu.
''Jadi kita harus mulai dari mana?'' tanya Myungsoo.
''Haruskah direktur bertanya padaku?''
''Jieun bilang kau berpengalaman.''
''Lalu kau percaya begitu saja padaku? Bukankah pendidikanmu lebih tinggi?''
''Harus kuakui pengalaman lebih baik dalam hal ini.''
Akhirnya Jiyoung benar-benar mengantar Myungsoo kemana saja, tentunya dengan enggan.
Setelah mereka selesai berkeliling, hari sudah sore.
''Kita harus cepat kembali, kita harus memberikan laporan tentang pabrik ini dulu pada manajer Jieun.'' kata Jieun.
''Bagitukah? Bukankah aku direkturnya? Aku bisa langsung memberikan laporannya pada pusat.''
Jiyoung memutar bola matanya, ''Kau kira karena kau direktur, kau bisa seenaknya. Kau ingatkan ini sebenarnya tugas manajer Jieun?''
Myungsoo mengangguk, ''Baiklah.''
Myungsoo mengemudikan mobilnya dengan cepat, dia berusaha memburu waktu agar Jieun masih bisa ditemui.
''Cepatlah!'' kata Jiyoung.
''Aku sudah berusaha. Memangnya kenapa? Tak bisakah kita lakukan besok?''
''Ani bukan begitu cara kerja Jieun, besok pagi sekali kita sudah harus memberikannya pada pusat.''
Myungsoo tersenyum, ''Dia terlalu keras.''
''Begitulah manajer kita. Sudahlah cepat!''
''Tak bisakah kau memintanya lembur sebentar saja? Atau kita berikan ini ke rumahnya?''
Jiyoung melihat jamnya, ''Ani.''
''Memangnya kenapa?''
''Sudahlah konsentrasi saja pada jalan.''
Tiba-tiba Myungsoo mengerem mobilnya secara mendadak, membuat Jiyoung menjerit, ''Ya!!
Apa yang sebenarnya kau lakukan?''

TO BE CONTINUED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar