Tiba-tiba Myungsoo mengerem mobilnya secara mendadak, membuat Jiyoung menjerit, ''Apa yang sebenarnya kau lakukan?''
Myungsoo bergegas turun dari mobilnya, langit sudah mulai menggelap.
Jiyoung juga mengikutinya turun, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Myungsoo. ''Ada apa?'' Jiyoung terdiam saat melihat Myungsoo memungut anak anjing yang ternyata baru saja tertabrak mobil Myungsoo.
''Masalah nyawa lebih penting sekarang.'' Myungsoo membawa anak anjing penuh darah itu ke tepi jalan yang sepi itu.
''Apa dia masih hidup?'' tanya Jiyoung sambil menutup mulutnya, tak berani melihat langsung anak anjing itu. Dia tak tega.
''Sayangnya tidak.'' Myungsoo terdengar sangat menyesal. dengan segera di mencari kayu dan menggali tanah. Jiyoung tahu Myungsoo ingin mengubur anak anjing itu.
Jiyoung tak bisa membantunya, dia sedikit shock. Jiyoung hanya bisa terdiam di pinggir jalan dan memperhatikan direkturnya yang menyebalkan namun berhati malaikat itu. Myungsoo rela jasnya kotor hanya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak disengaja pada hewan malang itu.
Setelah agak lama, malam sudah benar-benar tiba, dan udara semakin dingin, Myungsoo selesai. Mereka segera masuk ke dalam mobil. Namun sebelum Myungsoo menghidupkan mobilnya, gerakannya terhenti saat Jiyoung tiba-tiba mendekat dengan sapu tangan di tangannya, dia berniat membersihkan wajah Myungsoo yang ternyata kotor itu.
Jiyoung mulai punya pandangan lain untuk Myungsoo. ''Kau tak semenyebalkan kelihatannya.'' katanya.
Myungsoo tersenyum, ''Biar aku sendiri.'' dia mengambil sapu tangan Jiyoung dan membersihkan sendiri wajahnya.
''Jadi kita sudah terlambat menemui Jieun-ssi?'' tanya Myungsoo.
Jiyoung mengangguk, ''Direktur antarkan saja ke rumahnya, tapi jangan malam ini. Besok sepagi mungkin yang kau bisa.''
Myungsoo mengangkat alisnya ingin tahu alasan kenapa Jieun sepertinya begitu sibuk. Namun dia tak bertanya dan hanya mengangguk. Sekarang dia mengantarkan Jiyoung pulang.
***
Jieun membuka pintunya setelah mendengar bel rumahnya berbunyi, hal yang sangat langka. Dia hampi tak pernah menerima tamu. Jiyoung pun hanya dua kali ke sini.
''Jiyoung bilang kau peka terhadap setiap orang kan?'' tanya Myungsoo setelah Jieun membuka pintunya. Membuat Jieun terkejut bagaimana bisa Myungsoo datang sepagi ini, dia bahkan baru saja bangun dari tidurnya, hanya sempat mencuci muka.
''Direktur?''
Lalu Myungsoo menunjukkan laporan yang harusnya ia serahkan kemarin. ''Boleh aku masuk?''
Jieun mengangguk lalu mempersilahkannya duduk di ruang tamunya yang jarang di pakai itu.
''Apa ini?'' tanya Jieun setelah menerima laporan itu.
''Laporan hasil kemarin. Aku hanya menuruti Jiyoung yang katanya menuruti cara kerjamu. Jadi walaupun aku direktur, ini harus tetap melaluimu dulu. Begitukan?''
Jieun tersenyum, ''Ah mungkin Jiyoung berpikir karena harusnya ini tugasku. Harusnya aku yang mengantarmu kan direktur. Jiyoung pegawai yang baik kan?''
''Ya dia baik.'' jawab Myungsoo singkat, Jieun bisa melihat senyum tipisnya.
Jieun memeriksa laporan itu dan merasa tak ada yang perlu dibenahi, lagipula Myungsoo yang berpendidikan tinggi sudah mengerjakannya, Jieun tak mau ambil pusing lagi. Dia ingat ini saatnya dia meminum obatnya, dadanya terasa sedikit sesak.
''Jadi kau memang sepeka yang Jiyoung katakan kan?'' tanya Myungsoo akhirnya, dia memutuskan membahas ini daripada membahas keingintahuannya terhadap hal soal Jieun yang hanya di ketahui dua gadis itu.
Jieun sadar, dia tahu benar kemana arah pembicaraan Myungsoo, merasa sedikit tertekan, dia tersenyum, ''Memangnya ada apa?''
''Jadi kau tahu aku punya rasa khusus untuk Jiyoung kan?''
''Tak kusangka kau akan sejujur ini.'' Jieun tersenyum lagi, ''Sudah terlalu menganggapku seakrab itu?''
''Apa kita belum seakrab itu?'' Myungsoo tertawa tipis.
''Jadi, apa yang kau harapkan dari Jiyoung?'' tanya Jieun, dia ingin tahu yang sebenarnya meski itu melukainya.
''Molla...'' Myungsoo menghela nafas, ''Terlihat jelas, dia tak punya rasa apa-apa untukku.''
''Tapi akan segera berkembang.''
''Apa maksudmu?''
''Maksudku.. Apa kemarin sama sekali tak ada perkembangan?''
''Jangan bilang kau sengaja membuat dirimu sibuk agar Jiyoung yang menemaniku?'' Myungsoo tak percaya.
''Tapi kau senang kan direktur?'' tanya Jieun tersenyum.
''Kau juga sudah punya rencana? Kau melakukan semuanya sesuai rencanamu?''
''Sudah terlihat jelas kan?''
''Sekarang aku yakin kita sangat akrab.'' Myungsoo tersenyum, ''Apa aku harus mengucapkan terima kasih?''
''Terserah direktur. Manajermu ini hanya berusaha sebaik mungkin.''
''Berhenti panggil aku direktur, panggil aku oppa. Gomawo Jieun-ah.'' Myungsoo tersenyum senang seakan dia bahagia bisa menemukan sahabat baru yang bisa memahaminya.
Senyum Jieun memudar lagi setelah Myungsoo pergi. Namun dia memaksakan diri untuk tersenyum lagi, berusaha menguatkan diri seperti biasanya.
***
''Anyeong haseyo!'' Jiyoung membungkuk melihat Myungsoo Di dalam lift yang akan dinaikinya. Myungsoo hanya tersenyum.
Jiyoung dengan agak kikuk berdiri disamping Myungsoo. Tak tahu harus melakukan apa atau bicara apa.
''Aku sudah menyerahkan laporannya pada Jieun tadi pagi, sesuai yang kau katakan.'' kata Myungsoo.
''Ne.'' jawab Jiyoung lega, lalu pandangannya berhenti di punggung telapak tangan Myungsoo yang terluka. ''Apa itu karena direktur berusaha mengubur anjing kemarin?'' tanya Jiyoung khawatir.
''Mwo?'' Myungsoo lalu mengikuti arah pandangan Jiyoung dan segera menyembunyikan tangannya, ''Mungkin.''
''Kelihatannya sedikit infeksi?'' Jiyoung malah menarik tangan Myungsoo.
''Ne?'' Myungsoo agak terkejut saat Jiyoung memegang tangannya.
Jiyoung tersadar dan langsung melepasnya, ''Kau bisa minta sekertarismu membawakan obat untuk tanganmu.''
Pintu lift terbuka, Jiyoung keluar lebih dulu karena wajahnya memerah.
Myungsoo malah tersenyum senang melihatnya. Myungsoo malah tak ke ruangannya, dia menuju rungan Jieun. Jieun sudah datang dan sudah sibuk dengan pekerjaannya. ''Pagi sekali kau datang? Sebenarnya jam berapa kau berangkat?''
Jieun mendongak melihat Myungsoo datang, ''Sepagi yang aku bisa. Ini bukan yang terpagi, karena tadi ada tamu yang datang ke rumahku.''
''Begitukah?'' Myungsoo tersenyum.
''Jadi kebahagian apa yang membuatmu sesumringah itu dan datang ke sini sepagi ini direktur?'' tanya Jieun, ia sudah tahu ini soal Jiyoung.
''Apa aku perlu menjelaskannya?'' Myungsoo duduk di meja Jieun.
''Direktur, aku bukan Tuhan yang tahu segalanya.''
''Dia berubah, ada perkembangan.''
''Bagus.''
''Ini berkat kau.'' Myungsoo menatap Jieun dengan penuh terima kasih.
''Kau berusaha sendiri, aku tak melakukan hal yang signifikan, kalau Jiyoung bisa menyukaimu berarti ada sesuatu pada dirimu yang membuatnya suka. Jiyoung bukan gadis sembarangan yang juga akan menyukai lelaki sembarangan.'' jelas Jieun. Dia berpikir Myungsoo memang mempunyai sesuatu, sesuatu yang bahkan dirinya pun, gadis yang selalu menutup diri dan hatinya, bisa jatuh hati.
''Benarkah?'' Myungsoo tersenyum, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
''Jadi direktur sudah puas kan? aku harus mengerjakan pekerjaanku yang sudah menumpuk.''
''Baiklah.'' Myungsoo beranjak pergi. ''Ingat, aku hanya mengijinkanmu memanggilku direktur di kantor, tidak di tempat lain.''
Jieun berusaha berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya sebelum pikirannya tentang Myungsoo yang terus menganggap dirinya sebagai sahabat dekatnya, mendominasi otaknya.
Jieun sadar, semakin dekat hubungannya dengan Myungsoo, semakin sulit untuknya menjalankan rencananya bahkan meninggalkan Myungsoo nanti.
***
''Kau mau ku antar pulang?'' tanya Jieun pada Jiyoung saat mereka di lift setelah lembur malam ini. ''Ini sudah terlalu malam, bisa berbahaya jika kau naik bus sendirian.''
Jiyoung tersenyum, ''Tenanglah manajer, aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku ini gadis kuat, kau tahu sendiri kan?''
''Ya aku tahu, tapi hatiku mengatakan aku harus mengantarmu, entah apa yang akan terjadi.''
''Jangan takuti aku.''
''Atau kau berharap orang lain yang mengantarmu?'' goda Jieun.
''Mwo? Siapa maksudmu?''
''Siapa lagi, lelaki yang bisa membuatmu kikuk akhir-akhir ini.'' jawab Jieun.
Jiyoung menunduk, ''Jieun-ah bisakah kau tidak peka terhadap hal yang satu itu?''
''Bagaimana bisa?'' Jieun tertawa tipis, ''Itu terlihat jelas. Apa kau mau menarik perkataan jelekmu terhadap direktur?''
''Aigoo.. Jieun-ah.. Aku tak bisa punya rahasia darimu, kau akan selalu bilang itu sudah terlihat jelas.'' Jiyoung keluar lebih dulu dari lift. ''Tapi jangan khawatir, kau juga takkan bisa punya rahasia dariku.'' Jiyoung menjulurkan lidahnya. Ekspresi Jieun berubah seketika, pikirannya tentang Jiyoung mengetahui penyakit dan umurnya melayang kemana-mana. Namun segera setelah Jieun melihat Myungsoo di lantai satu, pikiran itu hilang, ia kembali pada rencana awalnya.
''Direktur, ada pegawai yang butuh diantar pulang, akan berbahaya sekali jika dia pulang sendirian.'' kata Jieun agak keras agar mereka berdua mendengarnya.
Seketika Jiyoung langsung menoleh mencari keberadaan Myungsoo, dan menyesal telah menemukannya tak jauh di arah kirinya. Sekilas Jiyoung melempar pandangan kesal terhadap Jieun. Sedangkan Jieun hanya tersenyum.
''Kang Jiyoung-ssi? Kau mau pulang sendirian semalam ini?'' tanya Myungsoo berbasa-basi, ia tahu maksud Jieun dan berbahagia lagi melihat sikap Jiyoung yang begitu canggung.
''A..ani direktur. Kau tak perlu melakukannya.'' Sikap Jiyoung semakin canggung dengan keberadaan Jieun, satu-satunya orang yang memahaminya.
''Meski aku tak mau mengantarmu pun, pusat akan menegurku karena hal ini. Jadi kau tak bisa bahkan tak boleh pulang sendiri. Ini kebijakan yang menguntungkan pegawai kan?'' Myungsoo tersenyum, ''Kajja!''
Jiyoung tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya dia mengangguk dan berjalan menuju tempat parkir bersama Myungsoo. Jieun di belakang mereka, seperti menonton sebuah adegan drama secara langsung.
''Masuklah.'' bahkan Myungsoo membukakan pintu untuk Jiyoung. Mereka melakukannya seakan mereka masih pertama kali naik mobil bersama. Myungsoo tersenyum pada Jieun tanpa sepengetahuan Jiyoung tentunya dan berkata tanpa suara, ''Gomawo.''
Jieun hanya tersenyum dan mengangguk.
Myungsoo menjalankan mobilnya keluar dari tempat itu. Dia masih bisa melihat Jieun dari kaca spion, entah apa yang dilakukan Jieun disana dengan menunduk dan memegangi dadanya, Myungsoo tak mengerti.
''Jadi dimana rumahmu?'' tanya Myungsoo pada Jiyoung.
Jiyoung memutar bola matanya, ''Jangan bertanya seperti kau tak tahu apa-apa direktur. Bukankah itu konyol?''
''Baiklah, aku harap aku tak menabrak anjing lagi kali ini, atau kau harus pulang besok pagi.''
Jiyoung tak bisa menyembunyikan senyumnya. Lalu ia ingat luka di tangan Myungsoo, ''Direktur bagaimana lukamu?''
''ini?'' Myungsoo melihat tangannya sendiri, ''Seperti katamu, aku sudah minta sekertarisku membantuku. Ini sudah bisa dibilang sembuh. Kau khawatir?''
''Mwo? Aninde.. Aku hanya bertanya, ingin tahu saja.'' kata Jiyoung tergagap.
Myungsoo tersenyum senang.
Tak lama kemudian mereka sampai di rumah Jiyoung, Jiyoung segera turun dari mobil, berusaha mengatur degup jantungnya yang tak karuan saat Myungsoo bermaksud membantunya melepas sabuk pengamannya.
''Ne, gomapseumnida direktur.'' Jiyoung membungkuk dengan cepat, berharap Myungsoo pergi secepat mungkin.
''Berhenti panggil aku direktur, ini sudah diluar kantor, aku lebih tua darimu kan?'' kata Myungsoo, ''panggil aku oppa.''
''Ne?''
''Cepatlah!''
''Oh ne oppa, gomawoyo.'' kata Jiyoung cepat-cepat.
Lalu Myungsoo mengambil ponselnya menekan nomor Jiyoung yang didapatnya dari Jieun. Seketika ponsel Jiyoung berbunyi.
''Itu nomorku simpanlah. Kau tidak perlu secanggung itu denganku.'' Myungsoo tersenyum lalu masuk ke dalam mobilnya.
Jiyoung masih tercengan, meski mobil Myungsoo sudah tak terlihat lagi, ''Apa dia menyukaiku sampai memeriksa profilku di perusahaan? Darimana dia mendapat nomor ponselku?'' gumamnya.
TO BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar