Baekhyun
berusaha bersikap baik dengan tidak berlari keluar kafe itu dan meninggalkan
Jieun sendirian. Beberapa menit yang lalu, Jiyoung yang awalnya mengajak
Baekhyun datang ke kafe ini, tiba-tiba punya urusan mendadak di univertasnya
dan membuatnya terpaksa berdua saja dengan Jieun. Jieun gadis yang baik, tak
mungkin Baekhyun meninggalkannya begitu saja. Dia berusaha bertahan dengan
suasana canggung ini.
“Apa
kau merasa canggung dan tidak nyaman?" tanya Jieun akhirnya setelah
melihat gerak gerik Baekhyun. "Apa kau ingin kita pulang saja?" entah
mengapa Baekhyun melihat sekilas kesedihan di mata Jieun.
“Ah...
Tak apa. Kita tunggu dulu saja pesanan kita."
Dan
Jieun menjawabnya dengan anggukan yang ragu.
Baekhyun
berusaha melaluinya dengan baik hingga ia pulang dengan taksi, segera berlari
ke kamarnya untuk menelepon Jiyoung hingga ia menemukan lampu kamar Jiyoung yang
menyala.
Ada
suara benda dilempar di jendela kamar Jiyoung. Jiyoung sudah kelewat tahu itu
ulah Baekhyun. Jiyoung membuka jendelanya dan menemukan Baekhyun sedang
cemberut di beranda kamarnya itu.
“Aku
kira kau ada urusan di universitasmu."
"Sudah
selesai." jawab Jiyoung. Berusaha membuat ekspresinya tak merasa bersalah,
karena dia memang berbohong.
"Lalu
mengapa tak kembali ke kafe?" Baekhyun masih menekuk wajahnya.
"Aku
takut menganggu kalian berdua." Jiyoung tertawa kecil, "Bagaimana
tadi? Apa berjalan lancar? Jieun eonni baik sekali kan?"
"Apa
maksudmu sebenarnya?" Baekhyun belum bisa menebaknya.
Jiyoung
tak mempedulikan pertanyaan itu dan malah bertanya balik, "Jadi apa yang
kalian bicarakan tadi?"
"Ya,
untung saja dia baik. Kalau tidak, aku bisa mati karena terlalu canggung akibat
sahabatku membuatku terjebak di suasana yang asing itu."
"Lalu?
Apa lagi yang kalian bicarakan?"
Baekhyun
melunak, seperti biasa, takkan sanggup untuk benar-benar marah pada Jiyoung,
"Dia mengajakku berteman. Dia bilang dia akan berusaha jadi teman yang
baik untukku. Apa kau mengerti maksudnya?"
Jiyoung
berusaha menyembunyikan senyum kecutnya, karena dia tahu, Baekhyun pasti bisa
merasakannya, "Apa kau tak bisa menebaknya?"
"Apa?"
"Aduh
sahabatku satu ini bodoh sekali. Sudah jelas dia itu menyukaimu Byun
Baekhyun." Jiyoung tertawa. Berusaha melepas tawanya.
"Be..benarkah?"
Baekhyun terlihat berpikir.
Jiyoung
punya harapan. "Jadi bagaimana? Apa kau juga mulai menyukainya?" Ya
mungkin Baekhyun memang akan dengan mudah menyukai Jieun lagi. Tak sesulit yang
Jiyoung kira. Mungkin saat ini Baekhyun terlihat sedikit bingung karena ia tak
menyangka gadis cantik dan baik itu menyukainya dan menggetarkan hatinya. Ya,
mungkin begitu.
"Apa
yang kau bicarakan? Aku bahkan tak benar-benar mengenalnya, bagaimana aku bisa
sudah dalam tahap menyukainya?" perkataan Baekhyun ini sedikit
mengejutkan, Baekhyun mengatakannya, setelah dulunya ia menyukai Jieun lewat
pandangan pertamanya. Tapi Jiyoung tetap berharap misinya berhasil. Mungkin memang
dengan berjalannya waktu, dan Baekhyun semakin mengenal Jieun lebih dekat lagi,
Baekhyun akan benar-benar menyukainya lagi.
Jiyoung
menggodanya, "Tidakkah ini baik untukmu? Beruntung sekali kau ada gadis
secantik dan sebaik itu menyukaimu."
"Bisa
kau diam Kang Jiyoung?"
"Baiklah.
Lagipula siapa yang menggangguku di tengah-tengah aku mengerjakan tugasku hanya
untuk bicara ini?" Jiyoung menjulurkan lidahnya dan segera menghilang dari
beranda kamarnya dan masuk ke kamarnya.
***
Entah
mengapa semakin hari semua orang semakin membicarakan Jieun, itu semua membuat
Baekhyun bingung. Bahkan ibunya, meski tak secara langsung, seperti berusaha
mendekatkannya dengan Jieun. Dan dia baru tahu Jieun begitu dekat dengan
keluarganya dan juga keluarga Jiyoung. Tiap kali Baekhyun menanyakan soal ini
pada Jiyoung, dia hanya tertawa.
"Aku
benarkan soal Jieun eonni? Dia itu gadis baik." Jiyoung menatap ibunya dan
ibu Baekhyun meminta dukungan saat mereka bertemu di halaman belakang rumah
mereka sore itu. "Ya kan eomma?"
"Ya
benar." ibu Jiyoung lalu tersenyum. "Dia memang baik."
"Bukan
hanya cantik. Dia sangat sopan." tambah Ibu Baekhyun.
"Kuharap
Jiyoung bisa belajar darinya." celetuk ibu Jiyoung. Biasanya Jiyoung
takkan terima dengan yang satu ini, tapi kali ini dia tersenyum saja.
Sambil
menatap Jiyoung yang tak biasa itu, ia bicara lagi, "Bukankah baik jika
Baekhyun menikah dengan gadis seperti Jieun itu nantinya?"
"Ya..."
Ibu Baekhyun segera ikut dalam misi itu, "Tentu saja. Aku akan sangat
senang punya menantu seperti itu." dia tertawa pelan.
Jiyoung
juga segera manambahinya, "Ya, jika tidak dapat gadis yang seperti itu,
kau mau hidup bagaimana lagi Baekhyun-ah?" lalu tertawa meledek, "Kau
memang butuh gadis yang seperti itu."
"Ya!"
Baekhyun membelalakkan matanya menyuruh Jiyoung diam. "Apa yang sebenarnya
kalian biacarakan?"
"Tapi
ini benar Baekhyun. Kau bilang kau ingin menikah muda. Dan aku kira ini juga
saatnya kau dekat dengan gadis lain selain Jiyoung." Ibu Jiyoung terlihat
serius, kali ini sama sekali tak menatap Jiyoung lagi.
Suasana
mendadak berubah. Hening. Jiyoung pun yang sedari tadi terus memaksakan dirinya
agar terlihat ceria, tidak sanggup lagi. Dia tak tahu lagi harus berkata apa.
Mungkin dulu dia akan menyetujui perkataan ibunya 100% dan meledek Baekhyun
karena selalu jadi ekornya. Tapi sekarang tidak. Setelah Jiyoung sadar ia
menyukai Baekhyun, sudah tidak lagi.
Baekhyun
terlihat kebingungan dengan keheningan itu lalu bicara, "Eomma aku mau
bicara." dan merekapun hilang ke dalam rumah mereka meninggalkan Jiyoung dan
ibunya.
Ibu
Jiyoung terus memperhatikan putrinya, "Jiyoung? Kau tak apa?"
Setelah
Baekhyun pergi, setidaknya Jiyoung bisa kembali berusaha ceria di hadapan
ibunya, "Ah mendadak aku lapar. Apa aku boleh memakan cake di kulkas
itu?" Jiyoung lalu mendahului ibunya masuk ke dalam rumahnya.
***
"Baekhyun
kau mau kemana?" tanya ibu Baekhyun saat melihat Baekhyun menuruni tangga.
Baekhyun terkejut melihat Jieun sedang berbincang dengan ibunya di ruang tamu.
Entah sejak kapan Jieun datang. Dan ini sudah bukan yang pertama kalinya. Jieun
semakin sering terlihat. Dan ternyata dia memang benar-benar sangat dekat
dengan keluarganya dan keluarga Jiyoung, Baekhyun sudah melihatnya sendiri.
"A..aku
akan ke rumah Jiyoung." lagi-lagi Baekhyun melihat Jieun terlihat sedih.
Jadi benar Lee Jieun memang menyukainya? Sebegitu sukanya kah dia pada
Baekhyun? Tapi Baekhyun terus berusaha bertindak jujur.
"Temanilah
Jieun. Dia sudah jauh-jauh datang kesini." kata Ibu Baekhyun yang merasa
tak enak pada Jieun. Dia berkali-kali menatap Baekhyun penuh arti.
"A..aku
sudah berjanji padanya." jawab Baekhyun.
"Ah,
tak apa, biar Oppa ke rumah Jiyoung saja." kata Jieun cepat-cepat.
"Aku juga sebenarnya hanya mampir sebentar." dia lalu beranjak pergi.
"Ah
maaf Jieun-ah..." kata ibu Baekhyun cepat-cepat, namun Jieun memotongnya.
"Tak
apa. Sungguh. Aku harus pulang sekarang. Terima kasih minumannya bibi."
Jieun lalu menuju pintu dan menghilang dari pandangan.
Baekhyun
membeku sebentar di tempatnya sebelum akhirnya dia saling menatap dengan ibunya
penuh arti dan beranjak menuju rumah Jiyoung.
Baekhyun
menemukan Jiyoung di kamarnya sedang bermain game di ponselnya setelah bertanya
pada ibu Jiyoung yang ia temui di dapur.
"Aku
hampir tak bisa kesini."
"Kenapa?"
Baekhyun
duduk di tepi tempat tidur Jiyoung sambil memperhatikan Jiyoung yang masih
tengkurap santai di ranjangnya itu.
"Jieun
datang ke rumah lagi."
Dan
dengan ini Jiyoung bangkit duduk menatap Baekhyun, mengabaikan gamenya yang
mendadak game over itu. "Lalu bagaimana kau bisa kesini?"
"Kau
tak suka aku berhasil ke sini?"
"Ya!
Apa kau menyuruh Jieun eonni pulang? Kau mengabaikannya?" tanya Jiyoung
menggebu-gebu.
"Apa?"
tanya Baekhyun tak percaya dengan reaksi Jiyoung ini.
"Harusnya
kau tak usah kesini. Harusnya sekarang kau berbincang dengannya. Kenapa kau
malah kesini?" Jiyoung meninggikan suaranya.
"Hei!
Siapa suruh dia datang tanpa pemberitahuan? Lagipula aku sudah ada janji
denganmu dulu. Dan aku tidak mengusirnya, dia sendiri yang bergegas
pulang." Baekhyun juga ikut meninggikan suaranya.
"Harusnya
kau cegah dia. Dia datang kalau bukan untukmu untuk siapa lagi? Apa kau
tega?"
"Kenapa
semua orang berusaha mendekatkanku dengan Jieun? Maaf kalau dia menyukaiku tapi
aku tidak menyukainya. Lalu mengapa semua orang tidak menghargai perasaanku? Kenapa
sepertinya mereka berusaha mengutamakan Jieun?" Baekhyun bicara keras
tanpa jeda.
Jiyoung
tertampar, dia diam.
"Apa
begitu pentingnya jika aku bisa berakhir dengan Jieun? Apa itu yang semua orang
mau? Apa itu yang kau mau?"
"Ya."
jawab Jiyoung akhirnya. Lemah, dengan tatapan yang dia usahakan kuat. "Apa
kalau aku yang mau kau berakhir dengan Jieun, bahkan menikah dengannya, apa kau
mau melakukannya?"
Baekhyun
hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar, "Jiyoung?"
"Bisakah
kau melakukannya?"
"Apa
ini ada hubungannya dengan ingatanku yang hilang?"
Jiyoung
terdiam.
"Baiklah."
tiba-tiba Baekhyun menjawab, "Jika itu maumu. Aku akan menemuinya malam
ini juga."
Dan
kali ini Jiyoung ingin menghujam hatinya sendiri dengan pisau, karena dalam
hatinya ia berteriak melarang Baekhyun melakukan itu. Berteriak Baekhyun tak
perlu dekat dengan Jieun. Baekhyun tak perlu kembali pada Jieun.
"Aku
akan bicara padanya." kata Baekhyun lalu beranjak pergi dan meninggalkan
Jiyoung sendiri.
Tak
lama kemudian ibu Jiyoung masuk dengan wajah sedihnya. Jiyoung segera meraih
ponselnya untuk berkamuflase dari wajah tegangnya tadi.
"Jiyoung-ah."
ibu Jiyoung duduk di samping Jiyoung. "Meski kau tak pernah bercerita pada
Eomma. Kau tetap putri Eomma. Eomma bisa tahu dengan jelas apa yang sebenarnya
terjadi padamu."
Jiyoung
masih berusaha mengalihkan perhatiannya dengan game di ponselnya.
"Kau
menyukai Baekhyun kan?"
Jiyoung
membeku. Ia kira takkan ada orang yang tahu soal ini. Apa selama ini dia
terlalu jelas? Jiyoung harus mencari cara untuk menutupi semua itu dengan lebih
baik.
"Sekuat
apapun kau berusaha menutupinya, kau tidak bisa membohongi eomma." ia
membelai pundak putri satu-satunya itu. "Eomma tahu kau kuat. Tapi tak apa
jika kau menyerah melakukan usahamu mengembalikan ingatan Baekhyun ini. Kau
boleh menyerah, kau boleh menjadi tidak kuat sekali saja jika ini memang
terlalu berat untukmu. Tentu saja Eomma lebih memilih melindungi putri Eomma.
Eomma tak bisa jika harus terus melihatmu terluka. Eomma bahkan hampir
kehilangan putri Eomma yang ceria..."
Dan
sebelum Ibunya meneruskan perkataannya lebih jauh lagi, Jiyoung segera
memotongnya, "Karena itu Eomma. Tinggal sedikit lagi. Bantu aku hm? Hanya
ini yang bisa aku lakukan untuknya. Bantu aku menuntaskan ini semua. Hanya ini
Eomma. Aku akan berusaha melupakannya."
Ibunya
seketika memeluknya, "Menangislah, tak ada salahnya menangis di saat
seperti ini. Kau memang putri Eomma yang paling baik sedunia. Kau putri Eomma
yang hebat." dan dengan itu Jiyoung meneteskan air matanya. Dia menangis.
***
Jiyoung
bersyukur malam itu bandnya ada latihan. Ada kompetisi sungguhan dalam waktu
dekat ini. Jiyoung bersyukur ada hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari
Baekhyun.
Setelah
memainkan lagu yang akan mereka bawakan nanti, mereka berhenti sejenak.
"Uh,
bisa kita istirahat sebentar?" tanya Krystal sambil meregangkan tangannya.
"Bisa
kau diam?" kata Jongdae pada Krystal tanpa menatapnya sedikitpun.
Krystal
hanya memutar matanya.
"Jiyoung-ah,
entah apa yang terjadi padamu. Tapi permainanmu malam ini tidak sebaik
biasanya. Dan cepat jawab ponselmu yang terus berdering itu." kata
Chanyeol sambil memperhatikan Jiyoung yang melamun.
"Istirahatlah
sebentar Jiyoung-ah." kata Jongdae.
"Hei
Kim Jongdae!" teriak Krystal, "Are you sure this is the best way you
can treat me? Kau selalu baik pada Jiyoung tapi tidak padaku!"
Jongdae
hanya memberinya tatapan datar.
"Maaf,
aku keluar sebentar." kata Jiyoung sambil menunjukkan ponselnya yang
kembali berdering.
Teman-temannya
mengangguk mengerti.
Jiyoung
pun menjawab ponselnya karena itu dari Myungsoo, "Myungsoo Oppa?"
"Hei
kemana saja kau? Kenapa tak mengangkat teleponku?"
"Maaf
aku sedang latihan bersama bandku." Jiyoung bersyukur lagi karena dia
punya alasan yang tepat tanpa harus berbohong.
"Baiklah
Jiyoung, aku sudah hampir benar-benar keluar dari misi ini sampai Baekhyun
tiba-tiba mengajak Jieun bertemu malam ini." suaranya terdengar lega, tapi
sama sekali tak ceria, Jiyoung bisa mengerti benar perasaannya, karena Jiyoung
juga merasakannya.
"Ya."
Apapun yang ia pikirkan, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku
harap ini berlanjut baik, karena kalau tidak, aku akan benar-benar berhenti.
Kau tidak tahu kan bagaimana Jieun menangis siang tadi? Dan sebahagia apa dia
malam ini? Sekuat apapun Jieun yang ku kenal, jika hatinya terus-terusan di
permainkan seperti itu, dia juga akan benar-benar runtuh. Dan itulah hal yang
paling tidak aku inginkan dari misi ini."
"Aku
mengerti oppa. Semoga ini memang berakhir seperti yang kita inginkan."
Setelah
selesai bicara dengan Myungsoo, Jiyoung kembali ke dalam studio musik itu.
Berusaha benar-benar berkonsentrasi, menghilangkan Baekhyun dari pikirannya,
setidaknya malam ini saja.
***
Jiyoung
tahu ini pengecut, mundur perlahan dari misinya sendiri, membuat jarak dengan
orang-orang dalam misi itu, tapi Jiyoung tak bisa menahan dirinya untuk tak
melakukannya. Jiyoung bukan tidak pernah melewati hari-harinya dengan mengutuk
hatinya sendiri yang egois itu. Hatinya yang semakin lama tak mau kehilangan
Baekhyun, hatinya yang tak ingin lagi misi ini berhasil, dan hatinya yang
merasa senang Baekhyun kehilangan ingatannya. Jiyoung benar-benar salah
perkiraan tentang semua ini. Menyetir hatinya tak semudah menyetir mobilnya,
dia punya mesinnya sendiri yang bisa melakukan apapun dan merasa apapun tanpa
bisa Jiyoung kontrol. Latihan bandnya yang semakin hari-semakin padat ia
jadikan alasan untuk menjauh dari orang-orang itu.
Jiyoung
merasa lega Myungsoo tak pernah menghubunginya lagi sejak hari itu. Tapi
sayangnya Baekhyun sudah beberapa kali mencoba menghubunginya hingga dua hari
lalu. Jiyoung hampir gila karena harus terus mengabaikannya, agar hatinya tak
semakin membuatnya egois. Dan baru Jiyoung sadari, setelah seminggu ini Jiyoung
tak bertemu Baekhyun, Jiyoung tak bisa hidup tanpa lelaki itu.
Dan
hari ini Jiyoung merasa gila dan tak karuan. Ia tak bisa pergi latihan dengan
bandnya dan menutup hatinya agar tak memikirkan Baekhyun dengan dentuman musik
yang keras dari drum yang ia mainkan. Hari Jiyoung mendadak sakit. Suhu
badannya begitu tinggi, membuatnya pusing setengah mati. Dan yang paling
Jiyoung tak suka adalah, disaat seperti ini, betapa rindunya ia pada Baekhyun.
Yang ada pada otaknya hanyalah ingatan bahwa dia pernah menghabiskan waktunya
saat sakit di kamar Baekhyun. Karena itu membuatnya merasa nyaman dan tentram.
Jujur saja Jiyoung lebih mudah tertidur di kamar Baekhyun yang rapi itu
daripada di kamarnya sendiri, apalagi saat sakit seperti ini.
Hari
ini Baekhyun pergi bersama Jieun lagi, Jiyoung tahu itu. Jiyoung tak ingin mengingatkan
hatinya bahwa itu menyakitkan. Tapi sekarang kakinya membawa dirinya pergi
begitu saja meninggalkan kamarnya.
"Jiyoung?
Kau mau kemana? Badanmu masih panas." Ibunya mengerutkan keningnya saat
bertemu Jiyoung di ruang tengah.
Jiyoung
tak menjawab, hanya menatap ibunya sekilas dan ibunya mengerti mau kemana anak
gadisnya itu. Dengan wajah prihatin ia melihat Jiyoung keluar rumah.
Dan
ibu Baekhyun membukakan pintu untuknya di rumah Baekhyun. Wajahnya terkejut,
"Jiyoung? Ibumu bilang kau sakit?"
"Bibi
boleh aku ke kamar Baekhyun sebentar? Sebentar saja hm?"
"Tentu
saja, tapi kau pucat sekali." Ibu Baekhyun lalu malah menuntun Jiyoung
membantunya berjalan menuju kamar Baekhyun di lantai dua.
"Bisa
kita bicara sebentar?" tanya ibu Baekhyun tiba-tiba setelah mendudukkan
Jiyoung di ranjang Baekhyun. Ada kekhawatiran di wajahnya.
Jiyoung
menatapnya, menandakan ia bersedia di ajak bicara.
"Apa
kau tidak ingin menghentikan usahamu mengembalikan ingatan Baekhyun?"
"Bibi?"
"Tak
bisakah kita semua berhenti melakukannya?"
"Ada
apa bibi? Bukankah kita semua melakukannya untuk kebahagiaan Baekhyun?"
"Baekhyun
yang sekarang dan yang dulu punya kebahagiaannya sendiri-sendiri. Aku rasa kita
tak bisa mengembalikan Baekhyun pada kebahagiaannya yang dulu begitu saja
Jiyoung-ah."
Jiyoung
tak tahu maksudnya, dia terlalu pusing untuk berpikir. Tapi betapa inginnya dia
menyetujui itu. menghentikan misi ini, betapa inginnya dia melakukan itu.
Tak
lama kemudian Jiyoung sudah ditinggal sendiri di kamar Baekhyun. Ia merebahkan
diri di ranjang Baekhyun, menatap langit-langit ruangan itu hingga akhirnya
tertidur dengan Baekhyun memenuhi pikiran dan hatinya.
Ia terbangun dengan kain basah di dahinya. Mengambilnya,
kepalanya sudah tak sepusing sebelumnya. Dan selimut Baaekhyun sudah terbalut
menyelimutinya.
“Panasmu tinggi kanapa kau tak diam saja di kamarmu?” dan
itu suara Baekhyun. Dia ternyata duduk di samping Jiyoung sejak tadi.
Betapa inginnya dia bergelung di ranjang itu bersama
Baekhyun, namun sesakit apapun dia, dia masih punya kesadaran untuk tidak
melakukan itu.
“Aku hanya...” dia tak bisa jujur dengan satu ini juga.
Karena alasannya dia datang kesini hanyalah agar bisa tidur untuk menghilangkan
sakit kepalanya. Kamar Baekhyun, ranjang Baekhyun, karena semua berbau Baekhyun
disini, itu yang bisa membuatnya tenang dan tertidur pulas. Tapi Jiyoung takkan
mengatakan alasannya. Jika dia sedang tak sakit seperti ini, dia pasti sudah
terlalu malu untuk berhadapan dengan Baekhyun, mengingat hubungan mereka saat
ini.
“Tak apa. Tidurlah lagi.” Kata Baekhyun saat melihat
Jiyoung berusaha bangkit.
Namun Jiyoung tetap beranjak, dia harus segera pergi dari
tempat itu. Dia tak bisa lama-lama lagi berada di satu ruangan bersama Baekhyun
tanpa ingin memeluknya erat-erat. Apalagi dengan keadaan tubuhnya yang tak
terlalu bisa dikontrol sekarrang ini.
Namun Baekhyun memegang lengannya saat ia akan berdiri
dari ranjang Baekhyun, membuatnya terduduk lagi.
“Kenapa kau tak menjawab teleponku?” oh tidak, Baekhyun
ingin membahas ini sekarang. Ini bukan waktu yang tepat. “Kenapa kau
menghidariku?”
Harusnya Jiyoung tak ketiduran tadi, harusnya dia
mengatur alarm atau apa agar dia ta bertemu Baekhyun. Dan mungkin dia tak
seharusnya datang kesini. Jiyoung measa bodoh.
“Maaf jika aku tak bisa menuruti kemauan semua orang. Apa
kau sekecewa itu padaku?”
Jiyoung masih tak bisa mencerna yang satu itu. Dia
beranjak pergi lagi, namun genggaman Baekhyun di lengannya menguat.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tak bisakah kau sebagai
sahabatku, menceritakan semua yang tidak aku tahu? Kenapa semua orang ingin aku
bersama Jieun? Tapi kenapa setelah aku dekat dengan Jieun, kau yang menjauh
dariku?”
Jiyoung berusaha keras tak mendengarnya.
“Jiyoung setidaknya jelaskan padaku.”
“A..aku harus pulang.”
“Jiyoung jawab aku. Kau tahu kan betapa gilanya aku
merasa tak mengatahui apa-apa seperti ini?”
Jiyoung masih tak menatap Baekhyun hingga kedua tangan
Baekhyun memegang wajahnya agar menatapnya.
“Lalu kenapa? Saat aku sudah melakukan seperti yang
diinginkan orang-orang kau malah tak menyukainya Jiyoung-ah? Aku tahu benar.
Aku kenal benar dirimu, kau tidak suka ini kan?” nada Baaekhyun meninggi, dia
sudah terlihat tak sabar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau
mempermainkan hatiku seperti ini? Apa sebenarnya rencanamu? Mendekatkanku dengan
Jieun, lalu kau pergi? Jika dari awal kau ingin melihatku bahagia bersama Jieun
harusnya kau tetap ada di sana, melihatku bahagia, memberiku selamat. Tapi
kenapa kau malah pergi? Apa tak benar-benar suka melihatku bahagia? Apa yang
sebenarnya kau mau?”
Dan Jiyoung sudah tak kuat lagi merasakan saki kepalanya,
dengan memejamkan mata ia bicara dengan tekanan disetiap katanya, “Kau ingin
tahu yang benar-benar aku mau?”
Baekhyun mengangguk.
“Tetaplah kehilangan ingatanmu. Tetaplah melupakan Jieun
eonni dan perasaanmu padanya. Tetaplah menjadi Byun Baekhyun yang sekarang yang
hanya dekat denganku, karena aku tak bisa hidup dengan Baekhyun yang belum
mengalami kecelakaan.”
to be continued...
entah sih ya, tapi kenapa lebih pengen baekhyun sama jieun aja??? TT TT
BalasHapustrus2 jadi mikir apa dulu baek itu suka ke jieun karena udah yakin dia gak bakal di terima sama jiyoung? halah
mungkinkah di next chapter baekhyun jieun jadian???
trus tetep suka banget sama bang jiyoung itu. itu lagi krystal jongdae aaaawww....