Halaman

Minggu, 14 September 2014

[FANFIC] Unpredictable Ending (part 3)






Baekhyun berusaha bersikap baik dengan tidak berlari keluar kafe itu dan meninggalkan Jieun sendirian. Beberapa menit yang lalu, Jiyoung yang awalnya mengajak Baekhyun datang ke kafe ini, tiba-tiba punya urusan mendadak di univertasnya dan membuatnya terpaksa berdua saja dengan Jieun. Jieun gadis yang baik, tak mungkin Baekhyun meninggalkannya begitu saja. Dia berusaha bertahan dengan suasana canggung ini.

“Apa kau merasa canggung dan tidak nyaman?" tanya Jieun akhirnya setelah melihat gerak gerik Baekhyun. "Apa kau ingin kita pulang saja?" entah mengapa Baekhyun melihat sekilas kesedihan di mata Jieun.
“Ah... Tak apa. Kita tunggu dulu saja pesanan kita."
Dan Jieun menjawabnya dengan anggukan yang ragu.
Baekhyun berusaha melaluinya dengan baik hingga ia pulang dengan taksi, segera berlari ke kamarnya untuk menelepon Jiyoung hingga ia menemukan lampu kamar Jiyoung yang menyala.
Ada suara benda dilempar di jendela kamar Jiyoung. Jiyoung sudah kelewat tahu itu ulah Baekhyun. Jiyoung membuka jendelanya dan menemukan Baekhyun sedang cemberut di beranda kamarnya itu.
“Aku kira kau ada urusan di universitasmu."
"Sudah selesai." jawab Jiyoung. Berusaha membuat ekspresinya tak merasa bersalah, karena dia memang berbohong.
"Lalu mengapa tak kembali ke kafe?" Baekhyun masih menekuk wajahnya.
"Aku takut menganggu kalian berdua." Jiyoung tertawa kecil, "Bagaimana tadi? Apa berjalan lancar? Jieun eonni baik sekali kan?"
"Apa maksudmu sebenarnya?" Baekhyun belum bisa menebaknya.
Jiyoung tak mempedulikan pertanyaan itu dan malah bertanya balik, "Jadi apa yang kalian bicarakan tadi?"
"Ya, untung saja dia baik. Kalau tidak, aku bisa mati karena terlalu canggung akibat sahabatku membuatku terjebak di suasana yang asing itu."
"Lalu? Apa lagi yang kalian bicarakan?"
Baekhyun melunak, seperti biasa, takkan sanggup untuk benar-benar marah pada Jiyoung, "Dia mengajakku berteman. Dia bilang dia akan berusaha jadi teman yang baik untukku. Apa kau mengerti maksudnya?"
Jiyoung berusaha menyembunyikan senyum kecutnya, karena dia tahu, Baekhyun pasti bisa merasakannya, "Apa kau tak bisa menebaknya?"
"Apa?"
"Aduh sahabatku satu ini bodoh sekali. Sudah jelas dia itu menyukaimu Byun Baekhyun." Jiyoung tertawa. Berusaha melepas tawanya.
"Be..benarkah?" Baekhyun terlihat berpikir.
Jiyoung punya harapan. "Jadi bagaimana? Apa kau juga mulai menyukainya?" Ya mungkin Baekhyun memang akan dengan mudah menyukai Jieun lagi. Tak sesulit yang Jiyoung kira. Mungkin saat ini Baekhyun terlihat sedikit bingung karena ia tak menyangka gadis cantik dan baik itu menyukainya dan menggetarkan hatinya. Ya, mungkin begitu.
"Apa yang kau bicarakan? Aku bahkan tak benar-benar mengenalnya, bagaimana aku bisa sudah dalam tahap menyukainya?" perkataan Baekhyun ini sedikit mengejutkan, Baekhyun mengatakannya, setelah dulunya ia menyukai Jieun lewat pandangan pertamanya. Tapi Jiyoung tetap berharap misinya berhasil. Mungkin memang dengan berjalannya waktu, dan Baekhyun semakin mengenal Jieun lebih dekat lagi, Baekhyun akan benar-benar menyukainya lagi.
Jiyoung menggodanya, "Tidakkah ini baik untukmu? Beruntung sekali kau ada gadis secantik dan sebaik itu menyukaimu."
"Bisa kau diam Kang Jiyoung?"
"Baiklah. Lagipula siapa yang menggangguku di tengah-tengah aku mengerjakan tugasku hanya untuk bicara ini?" Jiyoung menjulurkan lidahnya dan segera menghilang dari beranda kamarnya dan masuk ke kamarnya.
***
Entah mengapa semakin hari semua orang semakin membicarakan Jieun, itu semua membuat Baekhyun bingung. Bahkan ibunya, meski tak secara langsung, seperti berusaha mendekatkannya dengan Jieun. Dan dia baru tahu Jieun begitu dekat dengan keluarganya dan juga keluarga Jiyoung. Tiap kali Baekhyun menanyakan soal ini pada Jiyoung, dia hanya tertawa.
"Aku benarkan soal Jieun eonni? Dia itu gadis baik." Jiyoung menatap ibunya dan ibu Baekhyun meminta dukungan saat mereka bertemu di halaman belakang rumah mereka sore itu. "Ya kan eomma?"
"Ya benar." ibu Jiyoung lalu tersenyum. "Dia memang baik."
"Bukan hanya cantik. Dia sangat sopan." tambah Ibu Baekhyun.
"Kuharap Jiyoung bisa belajar darinya." celetuk ibu Jiyoung. Biasanya Jiyoung takkan terima dengan yang satu ini, tapi kali ini dia tersenyum saja.
Sambil menatap Jiyoung yang tak biasa itu, ia bicara lagi, "Bukankah baik jika Baekhyun menikah dengan gadis seperti Jieun itu nantinya?"
"Ya..." Ibu Baekhyun segera ikut dalam misi itu, "Tentu saja. Aku akan sangat senang punya menantu seperti itu." dia tertawa pelan.
Jiyoung juga segera manambahinya, "Ya, jika tidak dapat gadis yang seperti itu, kau mau hidup bagaimana lagi Baekhyun-ah?" lalu tertawa meledek, "Kau memang butuh gadis yang seperti itu."
"Ya!" Baekhyun membelalakkan matanya menyuruh Jiyoung diam. "Apa yang sebenarnya kalian biacarakan?"
"Tapi ini benar Baekhyun. Kau bilang kau ingin menikah muda. Dan aku kira ini juga saatnya kau dekat dengan gadis lain selain Jiyoung." Ibu Jiyoung terlihat serius, kali ini sama sekali tak menatap Jiyoung lagi.
Suasana mendadak berubah. Hening. Jiyoung pun yang sedari tadi terus memaksakan dirinya agar terlihat ceria, tidak sanggup lagi. Dia tak tahu lagi harus berkata apa. Mungkin dulu dia akan menyetujui perkataan ibunya 100% dan meledek Baekhyun karena selalu jadi ekornya. Tapi sekarang tidak. Setelah Jiyoung sadar ia menyukai Baekhyun, sudah tidak lagi.
Baekhyun terlihat kebingungan dengan keheningan itu lalu bicara, "Eomma aku mau bicara." dan merekapun hilang ke dalam rumah mereka meninggalkan Jiyoung dan ibunya.
Ibu Jiyoung terus memperhatikan putrinya, "Jiyoung? Kau tak apa?"
Setelah Baekhyun pergi, setidaknya Jiyoung bisa kembali berusaha ceria di hadapan ibunya, "Ah mendadak aku lapar. Apa aku boleh memakan cake di kulkas itu?" Jiyoung lalu mendahului ibunya masuk ke dalam rumahnya.
***
"Baekhyun kau mau kemana?" tanya ibu Baekhyun saat melihat Baekhyun menuruni tangga. Baekhyun terkejut melihat Jieun sedang berbincang dengan ibunya di ruang tamu. Entah sejak kapan Jieun datang. Dan ini sudah bukan yang pertama kalinya. Jieun semakin sering terlihat. Dan ternyata dia memang benar-benar sangat dekat dengan keluarganya dan keluarga Jiyoung, Baekhyun sudah melihatnya sendiri.
"A..aku akan ke rumah Jiyoung." lagi-lagi Baekhyun melihat Jieun terlihat sedih. Jadi benar Lee Jieun memang menyukainya? Sebegitu sukanya kah dia pada Baekhyun? Tapi Baekhyun terus berusaha bertindak jujur.
"Temanilah Jieun. Dia sudah jauh-jauh datang kesini." kata Ibu Baekhyun yang merasa tak enak pada Jieun. Dia berkali-kali menatap Baekhyun penuh arti.
"A..aku sudah berjanji padanya." jawab Baekhyun.
"Ah, tak apa, biar Oppa ke rumah Jiyoung saja." kata Jieun cepat-cepat. "Aku juga sebenarnya hanya mampir sebentar." dia lalu beranjak pergi.
"Ah maaf Jieun-ah..." kata ibu Baekhyun cepat-cepat, namun Jieun memotongnya.
"Tak apa. Sungguh. Aku harus pulang sekarang. Terima kasih minumannya bibi." Jieun lalu menuju pintu dan menghilang dari pandangan.
Baekhyun membeku sebentar di tempatnya sebelum akhirnya dia saling menatap dengan ibunya penuh arti dan beranjak menuju rumah Jiyoung.
Baekhyun menemukan Jiyoung di kamarnya sedang bermain game di ponselnya setelah bertanya pada ibu Jiyoung yang ia temui di dapur.
"Aku hampir tak bisa kesini."
"Kenapa?"
Baekhyun duduk di tepi tempat tidur Jiyoung sambil memperhatikan Jiyoung yang masih tengkurap santai di ranjangnya itu.
"Jieun datang ke rumah lagi."
Dan dengan ini Jiyoung bangkit duduk menatap Baekhyun, mengabaikan gamenya yang mendadak game over itu. "Lalu bagaimana kau bisa kesini?"
"Kau tak suka aku berhasil ke sini?"
"Ya! Apa kau menyuruh Jieun eonni pulang? Kau mengabaikannya?" tanya Jiyoung menggebu-gebu.
"Apa?" tanya Baekhyun tak percaya dengan reaksi Jiyoung ini.
"Harusnya kau tak usah kesini. Harusnya sekarang kau berbincang dengannya. Kenapa kau malah kesini?" Jiyoung meninggikan suaranya.
"Hei! Siapa suruh dia datang tanpa pemberitahuan? Lagipula aku sudah ada janji denganmu dulu. Dan aku tidak mengusirnya, dia sendiri yang bergegas pulang." Baekhyun juga ikut meninggikan suaranya.
"Harusnya kau cegah dia. Dia datang kalau bukan untukmu untuk siapa lagi? Apa kau tega?"
"Kenapa semua orang berusaha mendekatkanku dengan Jieun? Maaf kalau dia menyukaiku tapi aku tidak menyukainya. Lalu mengapa semua orang tidak menghargai perasaanku? Kenapa sepertinya mereka berusaha mengutamakan Jieun?" Baekhyun bicara keras tanpa jeda.
Jiyoung tertampar, dia diam.
"Apa begitu pentingnya jika aku bisa berakhir dengan Jieun? Apa itu yang semua orang mau? Apa itu yang kau mau?"
"Ya." jawab Jiyoung akhirnya. Lemah, dengan tatapan yang dia usahakan kuat. "Apa kalau aku yang mau kau berakhir dengan Jieun, bahkan menikah dengannya, apa kau mau melakukannya?"
Baekhyun hampir tak percaya dengan apa yang dia dengar, "Jiyoung?"
"Bisakah kau melakukannya?"           
"Apa ini ada hubungannya dengan ingatanku yang hilang?"
Jiyoung terdiam.
"Baiklah." tiba-tiba Baekhyun menjawab, "Jika itu maumu. Aku akan menemuinya malam ini juga."
Dan kali ini Jiyoung ingin menghujam hatinya sendiri dengan pisau, karena dalam hatinya ia berteriak melarang Baekhyun melakukan itu. Berteriak Baekhyun tak perlu dekat dengan Jieun. Baekhyun tak perlu kembali pada Jieun.
"Aku akan bicara padanya." kata Baekhyun lalu beranjak pergi dan meninggalkan Jiyoung sendiri.
Tak lama kemudian ibu Jiyoung masuk dengan wajah sedihnya. Jiyoung segera meraih ponselnya untuk berkamuflase dari wajah tegangnya tadi.
"Jiyoung-ah." ibu Jiyoung duduk di samping Jiyoung. "Meski kau tak pernah bercerita pada Eomma. Kau tetap putri Eomma. Eomma bisa tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi padamu."
Jiyoung masih berusaha mengalihkan perhatiannya dengan game di ponselnya.
"Kau menyukai Baekhyun kan?"
Jiyoung membeku. Ia kira takkan ada orang yang tahu soal ini. Apa selama ini dia terlalu jelas? Jiyoung harus mencari cara untuk menutupi semua itu dengan lebih baik.
"Sekuat apapun kau berusaha menutupinya, kau tidak bisa membohongi eomma." ia membelai pundak putri satu-satunya itu. "Eomma tahu kau kuat. Tapi tak apa jika kau menyerah melakukan usahamu mengembalikan ingatan Baekhyun ini. Kau boleh menyerah, kau boleh menjadi tidak kuat sekali saja jika ini memang terlalu berat untukmu. Tentu saja Eomma lebih memilih melindungi putri Eomma. Eomma tak bisa jika harus terus melihatmu terluka. Eomma bahkan hampir kehilangan putri Eomma yang ceria..."
Dan sebelum Ibunya meneruskan perkataannya lebih jauh lagi, Jiyoung segera memotongnya, "Karena itu Eomma. Tinggal sedikit lagi. Bantu aku hm? Hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya. Bantu aku menuntaskan ini semua. Hanya ini Eomma. Aku akan berusaha melupakannya."
Ibunya seketika memeluknya, "Menangislah, tak ada salahnya menangis di saat seperti ini. Kau memang putri Eomma yang paling baik sedunia. Kau putri Eomma yang hebat." dan dengan itu Jiyoung meneteskan air matanya. Dia menangis.
***
Jiyoung bersyukur malam itu bandnya ada latihan. Ada kompetisi sungguhan dalam waktu dekat ini. Jiyoung bersyukur ada hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari Baekhyun.
Setelah memainkan lagu yang akan mereka bawakan nanti, mereka berhenti sejenak.
"Uh, bisa kita istirahat sebentar?" tanya Krystal sambil meregangkan tangannya.
"Bisa kau diam?" kata Jongdae pada Krystal tanpa menatapnya sedikitpun.
Krystal hanya memutar matanya.
"Jiyoung-ah, entah apa yang terjadi padamu. Tapi permainanmu malam ini tidak sebaik biasanya. Dan cepat jawab ponselmu yang terus berdering itu." kata Chanyeol sambil memperhatikan Jiyoung yang melamun.
"Istirahatlah sebentar Jiyoung-ah." kata Jongdae.
"Hei Kim Jongdae!" teriak Krystal, "Are you sure this is the best way you can treat me? Kau selalu baik pada Jiyoung tapi tidak padaku!"
Jongdae hanya memberinya tatapan datar.
"Maaf, aku keluar sebentar." kata Jiyoung sambil menunjukkan ponselnya yang kembali berdering.
Teman-temannya mengangguk mengerti.
Jiyoung pun menjawab ponselnya karena itu dari Myungsoo, "Myungsoo Oppa?"
"Hei kemana saja kau? Kenapa tak mengangkat teleponku?"
"Maaf aku sedang latihan bersama bandku." Jiyoung bersyukur lagi karena dia punya alasan yang tepat tanpa harus berbohong.
"Baiklah Jiyoung, aku sudah hampir benar-benar keluar dari misi ini sampai Baekhyun tiba-tiba mengajak Jieun bertemu malam ini." suaranya terdengar lega, tapi sama sekali tak ceria, Jiyoung bisa mengerti benar perasaannya, karena Jiyoung juga merasakannya.
"Ya." Apapun yang ia pikirkan, hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku harap ini berlanjut baik, karena kalau tidak, aku akan benar-benar berhenti. Kau tidak tahu kan bagaimana Jieun menangis siang tadi? Dan sebahagia apa dia malam ini? Sekuat apapun Jieun yang ku kenal, jika hatinya terus-terusan di permainkan seperti itu, dia juga akan benar-benar runtuh. Dan itulah hal yang paling tidak aku inginkan dari misi ini."
"Aku mengerti oppa. Semoga ini memang berakhir seperti yang kita inginkan."
Setelah selesai bicara dengan Myungsoo, Jiyoung kembali ke dalam studio musik itu. Berusaha benar-benar berkonsentrasi, menghilangkan Baekhyun dari pikirannya, setidaknya malam ini saja.
***
Jiyoung tahu ini pengecut, mundur perlahan dari misinya sendiri, membuat jarak dengan orang-orang dalam misi itu, tapi Jiyoung tak bisa menahan dirinya untuk tak melakukannya. Jiyoung bukan tidak pernah melewati hari-harinya dengan mengutuk hatinya sendiri yang egois itu. Hatinya yang semakin lama tak mau kehilangan Baekhyun, hatinya yang tak ingin lagi misi ini berhasil, dan hatinya yang merasa senang Baekhyun kehilangan ingatannya. Jiyoung benar-benar salah perkiraan tentang semua ini. Menyetir hatinya tak semudah menyetir mobilnya, dia punya mesinnya sendiri yang bisa melakukan apapun dan merasa apapun tanpa bisa Jiyoung kontrol. Latihan bandnya yang semakin hari-semakin padat ia jadikan alasan untuk menjauh dari orang-orang itu.
Jiyoung merasa lega Myungsoo tak pernah menghubunginya lagi sejak hari itu. Tapi sayangnya Baekhyun sudah beberapa kali mencoba menghubunginya hingga dua hari lalu. Jiyoung hampir gila karena harus terus mengabaikannya, agar hatinya tak semakin membuatnya egois. Dan baru Jiyoung sadari, setelah seminggu ini Jiyoung tak bertemu Baekhyun, Jiyoung tak bisa hidup tanpa lelaki itu.
Dan hari ini Jiyoung merasa gila dan tak karuan. Ia tak bisa pergi latihan dengan bandnya dan menutup hatinya agar tak memikirkan Baekhyun dengan dentuman musik yang keras dari drum yang ia mainkan. Hari Jiyoung mendadak sakit. Suhu badannya begitu tinggi, membuatnya pusing setengah mati. Dan yang paling Jiyoung tak suka adalah, disaat seperti ini, betapa rindunya ia pada Baekhyun. Yang ada pada otaknya hanyalah ingatan bahwa dia pernah menghabiskan waktunya saat sakit di kamar Baekhyun. Karena itu membuatnya merasa nyaman dan tentram. Jujur saja Jiyoung lebih mudah tertidur di kamar Baekhyun yang rapi itu daripada di kamarnya sendiri, apalagi saat sakit seperti ini.
Hari ini Baekhyun pergi bersama Jieun lagi, Jiyoung tahu itu. Jiyoung tak ingin mengingatkan hatinya bahwa itu menyakitkan. Tapi sekarang kakinya membawa dirinya pergi begitu saja meninggalkan kamarnya.
"Jiyoung? Kau mau kemana? Badanmu masih panas." Ibunya mengerutkan keningnya saat bertemu Jiyoung di ruang tengah.
Jiyoung tak menjawab, hanya menatap ibunya sekilas dan ibunya mengerti mau kemana anak gadisnya itu. Dengan wajah prihatin ia melihat Jiyoung keluar rumah.
Dan ibu Baekhyun membukakan pintu untuknya di rumah Baekhyun. Wajahnya terkejut, "Jiyoung? Ibumu bilang kau sakit?"
"Bibi boleh aku ke kamar Baekhyun sebentar? Sebentar saja hm?"
"Tentu saja, tapi kau pucat sekali." Ibu Baekhyun lalu malah menuntun Jiyoung membantunya berjalan menuju kamar Baekhyun di lantai dua.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya ibu Baekhyun tiba-tiba setelah mendudukkan Jiyoung di ranjang Baekhyun. Ada kekhawatiran di wajahnya.
Jiyoung menatapnya, menandakan ia bersedia di ajak bicara.
"Apa kau tidak ingin menghentikan usahamu mengembalikan ingatan Baekhyun?"
"Bibi?"
"Tak bisakah kita semua berhenti melakukannya?"
"Ada apa bibi? Bukankah kita semua melakukannya untuk kebahagiaan Baekhyun?"
"Baekhyun yang sekarang dan yang dulu punya kebahagiaannya sendiri-sendiri. Aku rasa kita tak bisa mengembalikan Baekhyun pada kebahagiaannya yang dulu begitu saja Jiyoung-ah."
Jiyoung tak tahu maksudnya, dia terlalu pusing untuk berpikir. Tapi betapa inginnya dia menyetujui itu. menghentikan misi ini, betapa inginnya dia melakukan itu.
Tak lama kemudian Jiyoung sudah ditinggal sendiri di kamar Baekhyun. Ia merebahkan diri di ranjang Baekhyun, menatap langit-langit ruangan itu hingga akhirnya tertidur dengan Baekhyun memenuhi pikiran dan hatinya.
Ia terbangun dengan kain basah di dahinya. Mengambilnya, kepalanya sudah tak sepusing sebelumnya. Dan selimut Baaekhyun sudah terbalut menyelimutinya.
“Panasmu tinggi kanapa kau tak diam saja di kamarmu?” dan itu suara Baekhyun. Dia ternyata duduk di samping Jiyoung sejak tadi.
Betapa inginnya dia bergelung di ranjang itu bersama Baekhyun, namun sesakit apapun dia, dia masih punya kesadaran untuk tidak melakukan itu.
“Aku hanya...” dia tak bisa jujur dengan satu ini juga. Karena alasannya dia datang kesini hanyalah agar bisa tidur untuk menghilangkan sakit kepalanya. Kamar Baekhyun, ranjang Baekhyun, karena semua berbau Baekhyun disini, itu yang bisa membuatnya tenang dan tertidur pulas. Tapi Jiyoung takkan mengatakan alasannya. Jika dia sedang tak sakit seperti ini, dia pasti sudah terlalu malu untuk berhadapan dengan Baekhyun, mengingat hubungan mereka saat ini.
“Tak apa. Tidurlah lagi.” Kata Baekhyun saat melihat Jiyoung berusaha bangkit.
Namun Jiyoung tetap beranjak, dia harus segera pergi dari tempat itu. Dia tak bisa lama-lama lagi berada di satu ruangan bersama Baekhyun tanpa ingin memeluknya erat-erat. Apalagi dengan keadaan tubuhnya yang tak terlalu bisa dikontrol sekarrang ini.
Namun Baekhyun memegang lengannya saat ia akan berdiri dari ranjang Baekhyun, membuatnya terduduk lagi.
“Kenapa kau tak menjawab teleponku?” oh tidak, Baekhyun ingin membahas ini sekarang. Ini bukan waktu yang tepat. “Kenapa kau menghidariku?”
Harusnya Jiyoung tak ketiduran tadi, harusnya dia mengatur alarm atau apa agar dia ta bertemu Baekhyun. Dan mungkin dia tak seharusnya datang kesini. Jiyoung measa bodoh.
“Maaf jika aku tak bisa menuruti kemauan semua orang. Apa kau sekecewa itu padaku?”
Jiyoung masih tak bisa mencerna yang satu itu. Dia beranjak pergi lagi, namun genggaman Baekhyun di lengannya menguat.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tak bisakah kau sebagai sahabatku, menceritakan semua yang tidak aku tahu? Kenapa semua orang ingin aku bersama Jieun? Tapi kenapa setelah aku dekat dengan Jieun, kau yang menjauh dariku?”
Jiyoung berusaha keras tak mendengarnya.
“Jiyoung setidaknya jelaskan padaku.”
“A..aku harus pulang.”
“Jiyoung jawab aku. Kau tahu kan betapa gilanya aku merasa tak mengatahui apa-apa seperti ini?”
Jiyoung masih tak menatap Baekhyun hingga kedua tangan Baekhyun memegang wajahnya agar menatapnya.
“Lalu kenapa? Saat aku sudah melakukan seperti yang diinginkan orang-orang kau malah tak menyukainya Jiyoung-ah? Aku tahu benar. Aku kenal benar dirimu, kau tidak suka ini kan?” nada Baaekhyun meninggi, dia sudah terlihat tak sabar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau mempermainkan hatiku seperti ini? Apa sebenarnya rencanamu? Mendekatkanku dengan Jieun, lalu kau pergi? Jika dari awal kau ingin melihatku bahagia bersama Jieun harusnya kau tetap ada di sana, melihatku bahagia, memberiku selamat. Tapi kenapa kau malah pergi? Apa tak benar-benar suka melihatku bahagia? Apa yang sebenarnya kau mau?”
Dan Jiyoung sudah tak kuat lagi merasakan saki kepalanya, dengan memejamkan mata ia bicara dengan tekanan disetiap katanya, “Kau ingin tahu yang benar-benar aku mau?”
Baekhyun mengangguk.
“Tetaplah kehilangan ingatanmu. Tetaplah melupakan Jieun eonni dan perasaanmu padanya. Tetaplah menjadi Byun Baekhyun yang sekarang yang hanya dekat denganku, karena aku tak bisa hidup dengan Baekhyun yang belum mengalami kecelakaan.”
to be continued...

1 komentar:

  1. entah sih ya, tapi kenapa lebih pengen baekhyun sama jieun aja??? TT TT
    trus2 jadi mikir apa dulu baek itu suka ke jieun karena udah yakin dia gak bakal di terima sama jiyoung? halah
    mungkinkah di next chapter baekhyun jieun jadian???
    trus tetep suka banget sama bang jiyoung itu. itu lagi krystal jongdae aaaawww....

    BalasHapus