Cast:
Kim Myungsoo
Kang Jiyoung
Kris
Tao
Kim Myungsoo, sedang berada di beranda lantai dua rumahnya, lebih
tepatnya di kamarnya yang terlihat seperti istana kecil. Kediamannya
mempunyai dekorasi victoria serba mewah. Dan bisa ditemukan banyak
lukisan mahal di setiap sudut rumah itu.
Kim Myungsoo sedang mengamati pemandangan malam itu, tak banyak
bintang seperti di buku buku dongeng, langitnya mendung. Bulan yang
sebenarnya terang pun terbias oleh awan-awan tebal. Suasana langit itu,
seakan menggambarkan apa yang ia rasakan selama ini. Rasa bosan akan
hidupnya selalu menyelimuti hari-harinya.
''Tuan muda, apa perlu kami siapkan minuman hangat untuk malam ini?'' tanya seorang pelayan dari luar pintu kamarnya.
''Tidak.'' jawab Myungsoo singkat.
Ia mengambil sebuah kertas yang terlipat sembarangan dari sakunya.
Myungsoo mengamati gambar di kertas itu, buatannya sendiri, sebuah
kalung perak, garis tak berujung berbentuk angka delapan horizontal
dengan batu safir kecil di kedua sisinya.
***
Dua mahkluk berwujud lelaki bertubuh menjulang tinggi sedang
berdiskusi di atas atap sebuah rumah sambil mengamati kejadian di
bawahnya. Wajah mereka begitu putih hingga terlihat pucat seperti bulan.
''Sudah tiga korban. Ini jelas bukan kebetulan lagi.'' mereka
mendengar seseorang bicara pada beberapa orang lain di halaman rumah
tersebut. ''Mungkinkah mitos lama itu terulang lagi? Cerita tentang
'Nina Bobo Mematikan' itu? Bukankah ciri-ciri kematian mereka sama?''
''Tidak mungkin, kau tahu itu hanya sebatas tahayul. Di jaman sekarang nama mungkin ada hal seperti itu.''
''Ciri-ciri kematian mereka memang sama. Tapi penyebabnya sama
sekali tak bisa diketahui. Bukankah dokter sudah mengatakan tak ada
tanda-tanda ganjil pada tubuh mereka? Dokter bahkan bilang mereka
baik-baik saja, hanya jantung mereka yg berhenti.'' mereka mendengar
yang lain ikut bicara.
''Mana mungkin orang-orang itu terkena serangan jantung? Bukankah mereka tak memiliki penyakit jantung sebelumnya?''
''Sudah kubilang itu mitos 'Nina Bobo Mematikan itu'.''
''Diamlah!''
''Itu bisa kita serahkan pada detektif yang akan menyelidiki
kematian mereka. Masalahnya sekarang rumor itu sudah beredar di wilayah
kita ini, bisa-bisa wilayah kita tidak laku di datangi pelancong lagi.''
''Benar, aku dengar rumor yang beredar itu terlalu banyak mendapat bumbu-bumbu jadi terdengar menyeramkan dan tak lazim.''
''Sudah kubilang, mitos 'Nina Bobo Mematikan itu sangat terkenal.''
''Diamlah!!!''
''Mereka sudah mulai terpengaruh.'' ucap salah satu lelaki yang berambut hitam, di atas atap tadi.
''Tentu saja. Hanya saja mereka bodoh.'' ucap yang berambut pirang.
Mereka beruda mendongak, wajah mereka terkena sinar bulan,
memperlihatkan wajah putih pucat tirus mereka, hidung mancung bengkok,
mata tajam dan bibir-bibir tipis mereka melengkapi kesempurnaan mereka.
''Tao, aku ingatkan sekali lagi, kau jangan coba-coba membantu gadis
itu. Gadis itu sudah menyerahkan dirinya pada Infinity, kita hanya
perlu menjalankan tugas kita.'' jelas si rambut pirang pada si rambut
hitam yang bernama Tao itu.
Tao tak menjawab apa-apa, dia terlihat kesal namun berusaha menahannya.
***
''Anyeong!'' ucap seorang gadis sambil tersenyum manis. Gadis itu
menggunakan kalung perak berbentuk garis tak berujung yang membentuk
angka delapan horizontal dengan batu safir di kedua sisinya.
Myungsoo tersenyum simpul melihatnya, ada secercah kesenangan
dihatinya, di saat seperti ini dia pasti merasa bahagia dan melupakan
masalah kehidupannya.
''Kita sudah berjanji akan saling memberitahukan nama kita di
pertemuan ketiga kita?'' tanya gadis itu lembut seperti biasa. Myungsoo
tersenyum mendengar kelembutan itu.
''Waegeurae? Ada yang salah?''
''Ani. Aku Kim Myungsoo.''
''Ah.. Kim Myungsoo?'' Gadis itu tersenyum lalu menjabatkan tangannya dengan Myungsoo, ''Aku Kang Jiyoung.''
Myungsoo tersenyum lagi, ''Anyeong Kang Jiyoung.''
''Jadi, sekarang kita resmi teman?'' tanya Jiyoung masih dengan
senyumnya yang begitu sempurnya. Gadis ini memang memancarkan kecantikan
yang luar biasa, membuat semua orang yang bertemu dengannya akan takluk
padanya. Tapi tidak untuk Myungsoo, ia hanya merasa bahagia bertemu
dengan Jiyoung, sangat bahagia.
Mereka menghabiskan waktu bersama lama sekali, terasa sangat lama
hingga akhirnya mata Myungsoo merasa terpaksa terbuka saat sinar
matahari menyinari wajahnya, para pelayannya ternyata sudah membuka
semua jendela di kamarnya, membuatnya terbangun dari mimpinya.
Myungsoo merasa sedikit kesal, namun dia tetap tersenyum sambil
melihat sapu tangan yang semalaman ia genggam. Sapu tangan berenda
berwarna peach dengan pita putih di setiap ujungnya.
''Tuan muda, maaf membangunkan anda, tapi acara keluarga akan
dimulai sebentar lagi, Nyonya meminta anda bersiap-siap
mengahadirinya.''
''Aku mengerti.'' jawab Myungsoo masih tersenyum lalu bangkit dari ranjang besar super nyamannya.
***
''Kau sudah menjalankan tugasmu semalam kan?'' tanya Tao pada
Jiyoung. Mereka bertemu di sebuah tempat yang terlihat sangat luas,
padang rumput hijau yang subur dengan angin semilir menggerak-gerakkan
rambut panjang Jiyoung dan jubah hitam Tao.
''Ya. Aku sudah menjalankannya. Tapi aku heran dengan target yang
ini, mengapa dia tak jatuh begitu saja ditanganku? Tak seperti yang
lain, tapi lelaki bernama Myungsoo ini hanya terlihat bahagia
melihatku.'' jelas Jiyoung lembut.
Tao menyeringai, ''Sudah kubilang ini sulit. Semuanya akan benar-benar sulit.''
''Apa yang kalian bicarakan? Sang Infinity akan mendengarnya. Jangan
buat dia dan aku marah lagi.'' jubah hitam si rambut pirang berkibar
lemah saat di turun, entah dari mana, di dekat Jiyoung dan Tao.
''Kris?'' Jiyoung agak terkejut.
''Menjadi jiwa yang mati dengan dendam sudah menjadi takdirmu. Dan
saat itu kau sudah memilih untuk menyerahkan dirimu pada Infinity, kau
menjadi roh yang bebas tak terbatas. Setelah itu ingatan dunia semasa
hidupmu dihapus, dan kau punya tugas menyebar nina bobo yang mematikan
bagi lelaki-lelaki yang bersalah di dunia. Kau diberi kelebihan fisik
yang tidak mungkin dimiliki manusia, bahkan semasa fisikmu semasa
hidupmu agar mudah menakulkan mereka. Menaklukan mereka lewat mimpi
dengan 5 pertemuan dan menidurkan mereka selamanya di pertemuan ke-6.
Itu semua sudah menjadi tugasmu jangan pikirkan apa-apa lagi atau kau
akan mendapatkan hukuman.'' jelas Kris panjang lebar. ''Dan kau Tao,
jangan coba-coba mempengaruhinya lagi. Dia sendiri yang memilih jalan
ini.'' sekelebat mata Kris menghilang lagi.
Tao memandang ke tempat Kris menghilang tadi dengan kesal.
''Tao, terima kasih sudah mencoba menolongku, tapi bukankah Kris
sudah bilang? Aku yang memilih ini, meski sekarang aku sudah tak tahu
apa alasannya lagi. Aku hanya perlu menjalankan tugasku.'' Jiyoung
tersenyum lalu pergi, meninggalkan Tao yang kini berwajah sedih.
***
Myungsoo membaca sebuah koran di pagi harinya yang cerah. Dia
terlihat semangat karena dia telah memimpikan pertemuan ke-4 nya. Dia
bahkan tak begitu mempedulikan apa yang ia baca: ''Mitos lama yang
terulang, 'Death Lullaby' 3 korban lelaki lajang sudah berjatuhan''
Myungsoo meletakkan koran itu sembarangan setelah merasa bosan, ia mengambil sapu tangan peach itu lagi dan teringat sesuatu.
Flashback
Gadis yang Myungsoo ketahui bernama Kang Jiyoung itu dengan ceria
menjual bunga-bunganya di pasar. Sesekali Myungsoo melihat gadis itu
menyuapi Ibunya yang sedang sakit dan berada di belakang gerobak
bunganya.
Myungsoo mau mendekat namun mengurungkan niatnya karena ia melihat
Ibunya dan beberapa temannya sedang melewati pasar dengan mobilnya.
Myungsoo dengan cepat bersembunyi di balik tumpukan-tumpukan buah milik
pedagang buah yang entah sedang pergi kemana.
Myungsoo terus memperhatikan mobil itu hingga menghilang dan
benar-benar merasa aman. Myungsoo tak sadar tubuhnya bersandar terlalu
kuat di tumpukan keranjang buah itu, dan saat Myungsoo sadar, semua
keranjang itu berjatuhan menimpanya, hingga keningnua terluka.
Tiba-tiba Myungsoo merasa ada yang menarik tubuhnya dari tumpukan
buah yang rusak itu. ''Cepatlah bangun, kita harus cepat bereskan ini
sebelum Ajushi datang, dia itu galak sekali.'' Suara Kang Jiyoung
terdengar di telinga Myungsoo, dan membuatnya membeku.
Jiyoung menarik Myungsoo sekuat tenaga membantunya berdiri.
''Gwenchanayo?'' tanya Jiyoung sambil lalu, dia lebih fokus memunguti
buah-buah dan mengembalikan ke tempatnya.
Merasa Myungsoo diam saja, karena memang Myungsoo hanya
memperhatikan Jiyoung dan merasa sangat beruntung bisa berjarak sedekat
ini dengannya, Jiyoung menoleh dan menatap Myungsoo, ia terkejut melihat
kening Myungsoo yang berdarah.
''Omona! Kau berdarah.'' Jiyoung langsung mendudukkan Myungsoo,
mengeluarkan sebuah sapu tangan berenda berwarna peach dengan pita putih
di setiap ujungnya. Jiyoung menutup luka Myungsoo dengan sapu tangan
itu untuk menghentikan pendarahannya.
Myungsoo berdebar dan berusaha menahan senyumnya. Ia terus
memperhatikan Jiyoung, dengan kepribadiannya yang semanis ini. Myungsoo
menyukai gadis ini.
Sadar, Myungsoo terus menatapnya, Jiyoung menjadi salah tingkah,
''Ah, kau lakukan sendiri.'' Jiyoung meletakkan tangan kanan Myungsoo di
keningnya sendiri.
Jiyoung lalu agak terkejut melihat pakaian Myungsoo, ''Ah,
Jwesonghamnida.'' Jiyoung menjaga jarak. ''Bagaimana bangsawan sepertimu
bisa berada di tempat seperti ini?''
Myungsoo malah hanya tersenyum.
Jiyoung agak bingung melihatnya, Lalu ia melihat si pedagang buah
datang, ia langsung beranjak pergi, ''Ajushi datang, aku hanya bisa
membantu sampai sini, karena kau banyak uang, kau ganti saja kerugiannya
ya.'' Jiyoung tersenyum lalu pergi.
Flashback End
Myungsoo tersenyum mengingat semua itu. Tapi tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi sedih.
***
''Anyeong!'' Jiyoung menyapa Myungsoo semanis biasanya. Mereka
sedang berada di sebuah taman dengan rumput yang tumbuh subur dan
bunga-bunga bermekaran disana-sini.
''Anyeong!'' Myungsoo membalas senyum Jiyoung, seperti biasa, dia terlihat bahagia.
''Kau menungguku?'' tanya Jiyoung sambil duduk di samping Myungsoo
di bawah sebuah pohon yang rindang, angin sejuk sedikit menerbangkan
rambut Jiyoung yang berbau harum itu. ''Apa terlalu lama?''
''Selalu terasa terlalu lama, Tapi pada akhirnya kau tetap datang.'' jawab Myungsoo.
Jiyoung tiba-tiba terkejut, Entah apa itu, dia merasa pernah
mendengar kata-kata itu. ''Mian.'' Jiyoung segera menghentikan
pikirannya.
''Gwenchanayo.''
''Apa kau begitu menyukaiku, sampai kau rela aku berbuat
semenjengkelkan apapun?'' tanya Jiyoung halus, namun bisa terdengar tawa
dalam perkataannya.
''Kalau memang aku sudah menyukaimu, dan terlanjur mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?''
Jiyoung kembali teringat sesuatu yang tidak jelas dalam otak dan hatinya. Jiyoung diam saja.
''Anggap saja sudah terjadi seperti itu, jadi datanglah terus
padaku. Apapun yang akan kau lakukan, aku akan menerimanya dengan senang
hati.'' jelas Myungsoo tersenyum melihat kebingungan Jiyoung.
Myungsoo mengalihkan perhatian, setelah memandang bunga-bunga di
taman itu, ia kembali bertanya pada Jiyoung, ''Kenapa kau menggunakan
kalung itu?''
Jiyoung tersenyum santai, ia sudah tak sebingung tadi, ''Ini selalu
ada disini.'' Jiyoung menyentuh kalungnya, batu safirnya terlihat
berkilat.
Myungsoo tersenyum.
''Hanya tersenyum?'' tanya Jiyoung heran. ''Kau tidak mau bilang aku cantik dengan kalung ini?''
Myungsoo menahan tawanya, ''Kau merasa begitu?''
Jiyoung tertawa lembut. ''Mian.''
Tiba-tiba, si cuaca secerah itu, hujan turun begitu saja dengan
sangat deras. Jiyoung yang sepertinya sudah tahu akan hal itu, dia hanya
berusaha mempertahankan diri agar tidak basah dan berteduh di bawah
pohon. Myungsoo melindungi Jiyoung agar tak terkena hujan, membiarkan
setengah dirinya terkena hujan.
Posisi mereka sangat dekat, Benar-benar dekat, Jiyoung menatap
Myungsoo, merasa sangat tersanjung dengan sikapnya. Myungsoo yang sadar
sedang ditatap, juga menatap balik Jiyoung. Jiyoung heran, benar-benar
merasa heran, mengapa mata Myungsoo hanya memancarkan kebahagiaan.
''Saranghae.'' Bisik Myungsoo di tengah suara hujan.
Jiyoung membeku sekejap dan beberapa detik kemudian Jiyoung sudah mencium Myungsoo.
Jiyoung tersentak kaget dan melepas ciumannya. Dia benar-benar dalam keadaan bingung, semantara Myungsoo hanya menatapnya heran.
Myungsoo membuka matanya, dia sedang tidur di kamar super nyamannya,
tersenyum simpul mengingat mimpinya barusan, namun tetap merasa heran,
kenapa dia harus terbangun di saat seperti itu.
FlashBack
Myungsoo sedang berdiri di bawah jembatan kayu besar di dekat sungai
dan berkali-kali melihat matahari yang hampir tenggelam di barat sana.
Menandakan sebentar lagi petang datang, dan Jiyoung sudah sangat
terlambat. Ya, Myungsoo menunggu kedatangan Jiyoung. Myungsoo yang
meminta Jiyoung datang, karena besok ia akan pergi jauh dan kembali agak
lama, jadi Myungsoo bermaksud takkan memendam parasaannya lagi.
Sekarang mereka memang sudah dekat, sangat sering bertemu diam-diam
seperti ini, menghabiskan waktu bersama atau hanya untuk melakukan hal
yang tak penting bagi orang lain, namun sangat penting bagi mereka.
''Tuan muda!! Aku datang!'' Jiyoung berlari menghampiri Myungsoo.
Bukan bermaksud menghormatinya dengan memanggil seperti itu, namun lebih
tepatnya mengolok Myungsoo sebagai seseorang yang hanya tahu bagaimana
hidup sebagai tuan muda dan tak mengerti betapa sulitnya hidup di luar
sana, seperti yang di alami Jiyoung sendiri. ''Kau menunggu lama?''
Nafasnya tersengal-sengal.
''Selalu terasa terlalu lama, Tapi pada akhirnya kau tetap datang.'' jawab Myungsoo.
Jiyoung terpingkal. ''Kau sangat menyukaiku ya?''
''Kalau memang aku sudah menyukaimu, dan terlanjur mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?''
Jiyoung tertawa lagi tapi dengan keheranan yang luar biasa, ''Jangan bercanda!''
''Apa kau takut kau juga menyukaiku?'' tanya Myungsoo, membuat Jiyoung makin salah tingkah.
''Michyeoso?'' Jiyoung mengalihkan perhatian dengan menyuruh
Myungsoo pulang, karena ini sudah malam dan tuan muda pasti tak bisa
berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu di jalan nanti.
''Baiklah.'' jawab Myungsoo tersenyum.
Jiyoung sudah berbalik dan berniat pulang, namun ia mendengar
Myungsoo bicara, ''Tapi kita akan sulit bertemu lagi, aku akan pergi
lama... Sangat lama. Entah apa yang terjadi setelah itu.'' Myungsoo juga
berbalik berniat pulang, namun masih dengan senyum mengembang di
wajahnya.
Jiyoung menghentikan langkahnya, merasa sangat bingung dan serba
salah, tapi kemudian dia berlari menghampiri Myungsoo dan memanggilnya,
''Kim Myungsoo!!''
Myungsoo juga berhenti dan berbalik, tiba-tiba Jiyoung sudah menciumnya. Menandakan Jiyoung membalas perasaannya selama ini.
FlashBack End
***
''Apa yang sebenarnya terjadi?'' tanya Jiyoung, ia benar-benar
kebingungan. ''Biasanya di pertemuan ke-5, para lelaki itu yang
menciumku, tetapi kenapa aku yang menciumnya??''
''Sudah kubilang ini semua akan menyulitkanmu. Kenapa kau tak percaya?'' Tao balik bertanya.
''Apa?? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?? Tolong jelaskan semuanya padaku Tao. Aku mohon.''
''Lelaki itulah penyebab kematianmu, penyabab rohmu menjadi roh penuh dendam.''
''Mworago?''
Tao dengan cepat namun pasti menyentuh kepala Jiyoung, seakan menyalurkan ingatan Jiyoung sendiri ke dalam otaknya.
FlashBack
Jiyoung terkejut melihat keadaan rumahnya yang berantakan, ia
melihat ibunya menghilang, dia baru saja kembali setelah bertemu
Myungsoo. Dia merasa sesuatu mulai tak beras, karena akhir-akhir ini
memang, sering ada yang mengikutinya.
Jiyoung berlarian kesana kemari mencari ibunya. Menanyakan kepada
siapapun yang ia temui. ''Eomma eodigayo?'' gumamnya. Dia tahu dengan
keadaan ibunya yang seperti itu, ia takkan bisa pergi kemana-mana.
Tiba-tiba saat Jiyoung berjalan di pinggir jalan sekitar rumahnya
sambil tetap mencari ibunya hingga larut malam, beberapa lelaki
membawanya dan menyekapnya di suatu tempat. Jiyoung merasa ada yang
memukul kepalanya dengan sesuatu yang berat, ia tak sadarkan diri.
Saat Jiyoung membuka mata, ia merasa mulutnya tersumpal sesuatu yang
terasa seperti kain, ia merasa sangat pusing. Namun samar-samar ia bisa
melihat ibunya tergeletak tak sadarkan diri agak jauh di depannya.
''Eomma!!!'' Jiyoung mencoba menjerit, namun yang terdengar hanya erangan kecil.
Tak lama kemudian, seorang wanita dan beberapa orang masuk ke dalam gudang jerami itu.
Jiyoung sama sekali tak mengenal orang-orang itu, namun orang-orang memandangnya dengan jijik dan hina.
''Kau merasa puas? Kau merasa tinggi sekarang?'' tanya wanita itu dingin.
Jiyoung hanya memandangnya, tak mengerti apa maksudnya.
''Kau bahkan tak merasa bersalah sedikitpun? Apa kau lebih
mementingkan untuk memenangkan hati Kim Myungsoo daripada ibumu sendiri?
Dasar gadis murahan!'' bentak wanita itu.
''Apa sebenarnya maksud ini semua?'' tanya Jiyoung lemah. Suaranya hampir tak terdengar dengan sumpalan di mulutnya itu.
Wanita itu tertawa terdengar kebencian yang mendalam di tawanya,
''Kau benar-benar tak tahu siapa aku? Aku ibu Kim Myungsoo. Mengapa kau
dengan beraninya menggodanya dan mendekatinya?''
Jiyoung mulai mengerti. Dia terus memandang wanita itu merasa tak terima dibilang seperti itu.
Dua lelaki yang datang bersama dengan Ibu Myungsoo itu menghampiri
Jiyoung membuatnya berdiri dan melepas sumpalan di mulutnya dengan
begitu kasar.
''Dengar, kau mau menghentikan itu semua, atau kau akan berakhir seperti seekor sapi di penjagalan?'' tanya ibu Myungsoo.
''Apa yang harus aku hentikan? Apa aku melakukan kesalahan?
Putramulah yang terus mendekatiku dan menggoyahkan hatiku. Dan haruskan
kami dipersalahkan karena kami saling mencintai? Apa ini masalah status
lagi?'' jelas Jiyoung menguatkan diri.
''Kau benar-benar gadis tak tahu diri!'' gumam ibu Myungsoo dengan
kebencian penuh. ''Tahukah kau kau merusak semuanya? Jadi hentikan
sekarang juga. Hentikan semuanya! Kau takkan aku beri kesempatan lagi.''
Dua lelaki yang sedari tadi memegangi Jiyoung seakan diberi kode,
mereka mencengkeran lengan Jiyoung dan menyeretnya ke belakang gudang,
tempat sebuah kolam buatan kotor dan kecil.
''Kalian hentikan semua kebodohan itu! Dia tak bisa diampuni lagi!'' teriak ibu Myungsoo lalu meninggalkan gudang.
Jiyoung dengan paksa di ceburkan ke kolam yang ternyata sangat dalam
itu, dengan keadaan tangan terikat, Jiyoung tak bisa melakukan apa-apa
dan hanya tinggal menunggu ajal menjemputnya.
Tangan Myungsoo berdarah. Ia menahan semuanya, matanya berkaca-kaca
menahan tangisnya. Ia terkurung di kamarnya sendiri, meski ia tahu benar
apa yang sedang terjadi pada Jiyoung, dia tak bisa berbuat apa-apa.
Dia baru memecah cermin di kamarnya, meluapkan rasa marahnya,
terhadap hidupnya dan dirinya sendiri. Ia juga sudah berkali-kali
menggedor pintunya, memecah kaca jendela kamarnya, namun semua penjaga
suruhan ibunya menjaganya agar tetap di dalam kamarnya.
Myungsoo merasa ia ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga, namun
bahkan raganya seakan tak sanggup lagi melakukan apa-apa. Myungsoo
benar-benar tak tahu lagi dia harus berbuat apa.
Flashback end
Jiyoung menangis ia seperti merasakan kembali semua sakit itu, ia
menyesal, benar-benar menyesal, seharusnya ia tak memilih untuk menjadi
roh yang bebas dan medapatkan semua tugas itu.
Tao ikut merasa sedih melihat Jiyoung seperti itu, namun ia merasa
ia sudah selesai, memang hanya itu yang bisa ia lakukan walaupun mungkin
tak ada artinya, ia hanya ingin membuat Jiyoung sadar.
'''Semua yang ingin aku lakukan padamu sudah selesai. Sekarang
mungkin pertemuan terakhir kita. Aku hanya ingin kau kembali merasa
seperti manusia. Selamat tinggal..'' Tao berbisik, namun suaranya sangat
keras di telinga Jiyoung.
Jiyoung menoleh, namun Tao sudah hilang. Jiyoung makin bingung dengan apa yang terjadi.
Kris datang menghampiri Jiyoung, sudah mengerti apa yang telah
terjadi. Dia tersenyum santai. ''Ini semua memang diluar kendaliku.''
''Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua jadi seperti ini?
Bukankah ini mempersulitku? Lalu apa yang harus aku lakukan setelah
ini?''
''Kau tahu sendiri, Kim Myungsoo sama sekali tak menolak takdirnya,
dia menerima jika dia harus mati ditanganmu. Dia dengan senang hati
menyambutmu.'' kata Kris dengan tenang.
''Lalu mengapa Tao melakukan ini semua? Bagaimana bisa seperti ini?''
Kris tersenyum, ''Apa selama ini kau mengira mahkluk seperti kami
ini baru berumur sepertimu? Kami ini sudah berkerja seperti ini berabad
abad lalu. Dan yang harus kau tahu hanyalah, Tao adalah yang paling
spesial, karena dia tidak murni sepertiku dan lainnya, dia titisan
manusia, hatinya terbagi menjadi dua, dia bisa merasakan apa yang
dirasakan manusia, dan dia bisa jatuh cinta. Dia sudah jatuh cinta
padamu sejak kau lahir. Dan dia yang memilih menjadi penjagamu. Itulah
mengapa sekarang dia hilang, dia harus menerima hukuman untuk
dilenyapkan karena dia sudah mengembalikan ingatan manusiamu. Dia hanya
mahkluk campuran yang jatuh cinta pada manusia. Setelah berabad abad,
ternyata dia jatuh ditanganmu Kang Jiyoung.'' jelas Kris panjang lebar.
Jiyoung terdiam mendengar itu semua, dia merasa sepertinya dia
bersalah pada dua lelaki ini, meski dengan cara yang berbeda dan alam
yang berbeda, dia tetap merasa begitu bersalah.
''Sekarang, apapun yang kau pikirkan, kau tetap harus menjalankan tugasmu, melenyapkan Kim Myungsoo.''
Jiyoung menangis lagi.
***
Myungsoo mengerjapkan matanya, ia tak bisa tidur malam ini, merasa
sedikit kecewa karena ia jadi tak bisa bertemu Jiyoung lagi dimimpinya.
Myungsoo bangkit dari tempat tidurnya, membuka jendelanya bermaksud
mendapatkan udara segar, namun terkejut oleh sesosok gadis yang berdiri
di beranda dan membelakanginya. Myungsoo hanya ingin meyakini bahwa itu
Jiyoung.
''Ji...Jiyoung?'' Myungsoo bergumam. Tak peduli lagi ini mimpi atau bukan.
''Yang aku pikirkan tentang kau tak melakukan apa-apa itu benar. Ya kan?'' Jiyoung bicara tanpa berbalik.
Myungsoo mengerti benar maksud pembicaraan ini. ''Mianhae..''
''Mengapa kau tak lompat saja dari jendelamu dan tak mempedulikan
nyawamu untukku. Mengapa tak seperti itu? Mengapa kau tak membakar diri
saja di sini? Atau melakukan apapun yang membuatku takkan berusaha
membalas dendam padamu?'' Jiyoung mulai berbalik, memperlihatkan wajah
cantiknya dengan mata yang berkaca-kaca. ''Tak tahukah kau seperti apa
perang batin yang aku alami saat aku mulai goyah olehmu atas semua usaha
yang telah kau lakukan? Tak tahukah kau aku berusaha kuat menahan semua
sesak nafas di kolam itu karena aku sangat mencintaimu dan percaya
semua akan baik-baik saja asal aku tetap mencintaimu? Kim Myungsoo...
Aku benar-benar mencintaimu... Mengapa kau diam saja?'' Jiyoung
menangis.
Myungsoo berhambur memeluknya berusaha menyampaikan semua jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan Jiyoung barusan dengan pelukannya itu.
Jiyoung pun menangis dalam pelukannya.
''Mianhae... Jeongmal mianhae..'' Myungsoo juga menangis.
''Aku berusaha percaya kau akan menolongku atau melakukan apa saja
agar aku tak mati. Aku benar-benar percaya cintamu mengalahkan semua
persoalan status itu.. Tapi mengapa kau diam saja di kamarmu saat itu?''
''Aku tahu ini semua salahku.. Aku tahu aku sangat-sangat bersalah
padamu.. Aku terlalu takut, takut melawan hidupku sendiri yang
sebenarnya sangat mengekangku. Tak apa jika kau tak memaafkanku, biar
aku menyusulmu, menebus semua kesalahanku.'' jelas Myungsoo dengan
terisak.
''Dan kau kira aku tega melakukan semua itu? Kau kira dengan
mudahnya aku bisa membuatmu mati? Aku tak bisa.. Aku terlalu
mencintaimu..''
Myungsoo melepas pelukannya menggenggam tangan Jiyoung, ''Jika itu semua takdirku, aku akan baik-baik saja.''
''Tapi aku tak bisa membiarkanmu seperti itu... Lagipula kita tetap
tak bisa bersama. Aku sudah memilih tempatku sekarang, aku takkan bisa
bersamamu, kita tak ditakdirkan bersama. Jadi lebih baik kau tetap
hidup.'' Jiyoung menatap Myungsoo lekat-lekat.
''Tapi bukankah ini sudah takdirku?''
''Andwe.. Aku tetap tak bisa membiarkannya..''
Jiyoung berusaha menutup mulutnya, karena jika dia membukanya, nina
bobo mematikan itu akan terdengar dan membuat Myungsoo tidur selamanya.
Myungsoo seperti mengerti itu dan malah mencium Jiyoung, memaksanya membuka mulutnya.
Dengan cepat terdengar sebuah nyanyian merdu, sangat-sangat merdu
membuat Myungsoo sangat mengantuk dan ingin mengakhiri semuanya.
Myungsoo melemas, matanya mulai tertutup. Jiyoung menyangga tubuh
Myungsoo yang mulai dingin itu. Jiyoung menangis, dia merasa sangat
menyesal.
Kim Myungsoo sudah tidur, tidur untuk selama-lamanya.
***
EPILOG
Jiyoung sedang berjalan di padang rumput yang indah, sepoi angin
meniup rambut coklatnya yang bergelombang, memperlihatkan kecantikannya
yang luar biasa. Jiyoung tersenyum sambil menemui seorang lelaki, lelaki
yang sebenarnya sudah ia kenal, lelaki yang dihukum untuk dilenyapkan,
dan dilahirkan kembali sebagai manusia.
''Kau siapa?'' tanya lelaki itu dengan pandangan dinginnya.
''Tao-ssi anyeong!!'' Jiyoung tersenyum ''Kang Jiyoung imnida.''
THE END
Ceritanya Bagusss :)
BalasHapusmenyentuh bangett :')
pemilihan karakternya pas :')
suka bangeettt :)
thanks ya udah baca^^
Hapus