Halaman

Jumat, 05 April 2013

[FANFIC] The Sacrifice (last part)

Jieun menggeliat di ranjangnya serasa tak ingin bangun. sinar matahari sudah berhasil menembus jendelanya yang masih bertirai. Sudah 5 hari sejak ia terakhir kali datang ke kantornya, sampai hari ini dia tidak sanggup masuk kerja karena kesehatannya yang menurun. Di samping itu Jieun serasa tak siap menemui Myungsoo atau Jiyoung dan lagi mendengar keputusan Presdir setelah kedatangannya waktu itu, yang sebenarnya ia paksakan. Dengan keadaan tubuhnya yang sebenarnya sama sekali tak sehat.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di jendelanya. Seperti ada yang melempar sesuatu ke jendelanya. Jieun baru berniat menghampiri jendelanya, ponselnya berdering, Myungsoo meneleponnya. Jieun mengangkat ponselnya dengan segan sambil menghampiri jendelanya.
''Yeobuseyo?'' jawab Jieun. Ia berhasil membuka jendelanya sekarang dan menemukan sebuah bola karet agak kecil yang Jieun kenali sebagai milik Jiyoung.
''Cepat bersiap! Sebentar lagi kami akan menyusulmu. Kita akan pergi!'' Suara Jiyoung terdengar dari ponsel. Dan Jieun bisa melihat bentuk aslinya di seberangnya. Jiyoung sedang bersama Myungsoo, dengan wajah bersinar mereka di beranda kamar Myungsoo. Mereka melambai ceria pada Jieun.
Jieun sadar ini adalah keadaan paling memuakkan untuknya, tapi ia tahu ia harus berbuat apa, ''Ya! Siapa yang menyuruh kalian mengganggu tidur orang lain?'' Canda Jieun sambil tersenyum.
''Cepatlah!'' Jiyoung berteriak. Dia sudah mematikan teleponnya tadi, ponsel itu sudah kembali pada Myungsoo.
''Siapa bilang aku mau pergi dengan kalian?'' tanya Jieun.
''Kalau begitu kami akan menyeretmu.'' kali ini Myungsoo yang bicara.
Jieun tak tahu mengapa mendadak mereka bersikap seperti ini. Namun pikiran tentang usahanya berhasil untuk membatalkan perjodohan itu menguat.
''Kau diberi waktu 30 menit. Ok? Cepatlah!'' Jiyoung berkata dengan keceriaannya yang biasa.
30 menit kemudian, bel rumah Jieun benar-benar berbunyi, Jieun turun dan membuka pintunya. Myungsoo lalu benar-benar menyeretnya masuk ke dalam mobilnya. Jieun dengan terpaksa menuruti mereka, dibawa entah kemana Jieun tak tahu.
Jieun sebenarnya ingin bicara banyak pada mereka. Bertanya sebenarnya apa yang telah terjadi hingga membuat mereka berdua sebahagia ini, namun semua itu terbendung, karena Jieun tahu semua jawaban dari pertanyaannya itu hanya akan membuat hatinya terluka, lebih dalam lagi.
Akhirnya mereka sampai ke sebuah taman hiburan, Jieun tak pernah ke tempat ini, sama sekali tak pernah. Dia cukup takjub melihatnya.
''Kenapa kalian bawa aku kesini?'' akhirnya Jieun bertanya.
Mereka berdua tersenyum, ''Untuk bersenang-senang tentu saja.'' jawab Jiyoung.
Seperti kata Jiyoung, mereka benar-benar bersenang. Hampir semua wahana yang ada disana mereka naiki. Berteriak sepuasnya itu yang mereka lakukan.
''Ok, sekarang kita naik ini.'' ajak Jiyoung.
''Jet coaster?'' tanya Myungsoo.
''Kalian yakin?'' Jieun merasa dadanya mulai aneh.
''Tentu saja.'' jawab Jiyoung.
Myungsoo dan Jiyoung duduk bersama di depan Jieun, membuat Jieun duduk sendiri dan hanya bisa melihat mereka. Saat mesin mulai bergerak, yang terpikirkan oleh Jieun hanyalah, bagaimana jika ia mati detik ini juga, dalam keadaan terluka dalam hatinya, melihat kebersamaan Jiyoung dan Myungsoo yang tak bisa terpisahkan, namun itu berkatnya.
Jiyoung dan Myungsoo berteriak sepuas mereka, seakan sengaja melepaskan semua stress yang ada. Dan Jieun juga berteriak sepuasnya, berusaha melepaskan semua luka hatinya.
''Jadi makan dimana kita sekarang?'' tanya Myungsoo. Sekarang mereka berada di mobil dalam perjalanan pulang.
''Terserah kalian saja.'' jawab Jieun.
''Aku tahu restoran Itali lezat.'' kata Myungsoo.
''Baiklah, sepertinya bagus.'' jawab Jieun.
''Kalian ini, berhentilah makan makanan mewah. Kita juga punya masakan yang seenak makanan Itali, lebih enak malah. Jadi kita ke rumahku saja. Aku akan memasakkan kalian sesuatu.''
''Kau yakin?'' tanya Myungsoo sambil menahan tawanya.
''Ya! Kau kira aku tak tahu cara memegang pisau? Aku ini bisa memasak. Tanyakan saja pada Jieun.'' Jiyoung tersinggung.
Myungsoo malah tertawa, ''Benarkah Jieun?''
''Ya, aku pernah beberapa kali makan masakannya, dan itu lezat.'' jelas Jieun. Dia mengingat semua kedekatannya dengan Jiyoung selama ini.
''Benarkan?'' Jiyoung menjulurkan lidahnya ke arah Myungsoo.
Tak lama kemudian mereka sampai di rumah Jiyoung. Jiyoung langsung menuju dapurnya, namun Myungsoo menahan lengannya dan memintanya duduk di ruang tamu bersama. Jieun tahu mereka akan membicarakan sesuatu dengannya.
''Jieun-ah, kami harus bicara banyak denganmu.'' kata Jiyoung setelah ia duduk di samping Myungsoo.
''Jadi kalian sudah mau memberitahuku alasan kenapa kalian mengajakku secara paksa ke taman hiburan?'' Jieun berusaha tersenyum.
''Appaku sudah membatalkan perjodohanku. Meski dia masih belum menyetujui Jiyoung, tapi sudah suatu kemajuan, karena bahkan Appa memanggil Gyuri noona untuk kembali.'' jelas Myungsoo.
Jieun senang mendengarnya, usahanya bisa berhasil dengan sukses. Namun disisi lain itu memang menyakitkan.
''Gomawo Jieun-ah.'' Jiyoung menggenggam tangan Jieun.
''Ya Appa bilang aku harus berterimakasih pada sahabatku, yang dengan membahayakan posisinya sendiri berusaha membatalkan perjodohan itu dengan cara yang luar biasa.'' jelas Myungsoo.
''Dan kami tahu itu kau.'' tambah Jiyoung.
''Apa yang sebenarnya kau katakan pada Appa?'' tanya Myungsoo.
Jieun tersenyum, ''Sesuatu yang tentu saja tak terpikirkan oleh kalian.''
Myungsoo dan Jieun tertawa, ''Ya kami memang terlalu bodoh jika dibandingkan denganmu.'' celetuk Jiyoung.
''Jadi kau bersenang-senang kan?'' tanya Myungsoo.
''Ya, kau kan manajer kami yang gila kerja. Mungkin ini pertama kalinya untukmu bersenang-senang seperti ini.'' Jiyoung yang menjawab.
''Jadi, kemana orang tuamu, kenapa rumahmu sesepi ini?'' tanya Jieun, dia tak mau terjebak dalam suasana ini, ia berusaha merubah topiknya.
''Oh, mereka berlibur di rumah paman di Busan sejak kemarin.'' jawab Jiyoung.
''Baiklah... Perutku sudah berisik sekarang ini.'' kata Jieun.
''Ah geurae...'' Jiyoung tersenyum, ''Jangan khawatir Jieun-ah!'' Jiyoung langsung menuju dapurnya.
''Biar ku bantu.'' Kata Jieun, dia beranjak berdiri.
''Andwe.'' Myungsoo mendudukkannya kembali. ''Hari ini kau nikmati saja. Biar aku yang membantunya.''
''Jieun memang tak perlu membantu, tapi kau? Apa yang bisa kau lakukan?'' teriak Jiyoung dari dapurnya yang masih bisa terlihat dari ruang tamu.
''Ya!'' Myungsoo malah menghampirinya. ''Siapa bilang aku tak bisa apa-apa.''
Jieun bisa mendengar Jiyoung tertawa.
Sekali lagi, Jieun terjebak di tengah kebersamaan mereka.
Myungsoo dan Jiyoung mulai saling melempar bahan makanan. Jiyoung berusaha memukul kepala Myungsoo dengan papan potong, namun Myungsoo berhasil menghindar sehingga Jiyoung hampir terjatuh jika Myungsoo tidak menahan tubuhnya. ''Dasar bodoh.'' kata Myungsoo.
Jiyoung tersenyum dan malah memeluk Myungsoo. Myungsoo bisa melihat kilasan Jieun yang melihat adegan ini dengan ekspresi sedihnya. Sesuatu melintasi pikirannya lagi.
''Ya!'' teriak Jiyoung. ''Jangan buang-buang bahan makanannya lagi.''
''Kau juga melakukannya.'' kata Myungsoo.
''Sudahlah aku harus ke toko. Garamnya habis.'' Jiyoung beranjak pergi. ''Tunggu sebentar lagi ya Jieun.'' Jiyoung melesat keluar.
Ini membuat Jieun harus bertahan berdua saja dengan Myungsoo. Dan Myungsoo malah duduk di sebelahnya. Saat itu juga dadanya terasa sesak. Jieun baru ingat hari ini adalah jadwalnya untuk melakukan terapi. Semakin lama sakitnya semakin kuat. Matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat pusing.
''A..aku bu...tuh udara se..gar.'' Jieun bicara dengan susah payah, dia beranjak dan beniat keluar.
Langkah Jieun berhenti saat Myungsoo tiba-tiba bicara, ''Jieun, kau menyukaiku kan?''
Jieun seakan dihantam bom, dia tak menyangka Myungsoo bisa mengetahuinya. Ini sama sekali tak terpikirkan oleh Jieun.
''Kenapa kau melakukan semua ini?'' tanya Myungsoo.
Dada Jieun semakin sesak, seakan dia tak bisa bernafas lagi. Jieun melirik ke belakang sedikit sekali, dia tak berani menghadapi Myungsoo saat ini. Jieun tetap berniat keluar. Saat itu juga Jiyoung kembali, namun Jieun tak sanggup lagi melangkahkan kakinya. Mendadak semuanya terasa gelap, Jieun terjatuh tak sadarkan diri.
***
''Apa yang terjadi?'' tanya Jiyoung khawatir, dia sudah berkaca-kaca. ''Bagaimana bisa dia pingsan seperti itu?'' Jiyoung menanyai Myungsoo yang juga sedang ingin tahu.
''Mollayo, dia hanya terlihat sedikit pucat tadi.'' Myungsoo tak mau memberi tahu Jiyoung bahwa pikirannya tentang Jieun menyukainya benar.
Jiyoung sudah menangis sekarang. Myungsoo berusaha menenangkannya. ''Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?''
''Jieun.. Jieun.. dia.. Ada kanker di paru-parunya.'' Jiyoung menangis tersedu.
Myungsoo seakan tertohok pedang, dia benar-benar terkejut, ''Gojitmal.. Andweyo.. Darimana kau tahu?''
''Itu kenyataannya oppa.. Aku tahu, aku tahu selama ini Jieun punya jadwal kontrol ke dokter pribadinya. Aku..'' Jiyoung terisak. ''Aku pernah menemukan hasil tes kanker di mejanya.''
''Andwe..'' gumam Myungsoo, dia tetap tak bisa percaya.
''Ada keluarga pasien disini?'' tanya seorang dokter yang menghampiri mereka. Jieun sudah selesai diperiksa.
''Kami, kami keluarganya.'' kata Myungsoo.
''Aku harus bicara.'' kata dokter, dia mulai menjelaskan dengan wajah khawatir. ''Dia punya kanker paru-paru, kalian sudah tahu?''
Myungsoo mau tak mau harus percaya. Jiyoung dan Myungsoo menahan nafas mereka mendengar hasil pemeriksaan Jieun.
''Dan saat ini keadaannya sudah memburuk. Pengobatan apapun mungkin sudah tidak bisa dilakukan. Kami hanya bisa membantu untuk membuatnya tidak begitu merasa sakit di saat-saat terakhirnya.'' jelas dokter itu dengan berat hati.
Jiyoung makin tersedu. Sedangkan Myungsoo tak bisa percaya, ''Apa maksud dokter? Apa maksudnya?'' Myungsoo hampir berteriak. ''Jelaskan dengan jelas dokter.''
''Umurnya kami perkirakan tak bisa lebih lama dari 2 bulan.'' dokter itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua yang larut dalam kesedihan mereka.
Myungsoo tak bisa menangis, namun dia berkaca-kaca. ''Jiyoung-ah..dengarkan aku. Dengarkan aku Jiyoung-ah'' tiba-tiba Myungsoo memegang kedua bahu Jiyoung menatapnya dan memberitahunya yang sebenarnya, ''Kau tahu kan siapa yang mambantuku mengenalmu? Membantuku mendapatkanmu, bahkan membantu kita bersama? Itu semua berkat Jieun kan? Jieun melakukan semuanya demi kita.''
Jiyoung mengangguk.
''Dan selama melakukan itu semua Jieun, dia berkorban untuk kita. Dan baru tadi aku tahu dan yakin, dia menyembunyikan perasaannya padaku, untukmu, untuk kita. Aku tahu ini gila, aku tahu ini bodoh dan tidak adil untukmu atau untuk Jieun sekalipun, tapi aku mohon, ijinkan aku menemani Jieun disaat-saat terakhirnya, pinjamkan aku pada Jieun... Setidaknya seminggu ini.''
Myungsoo menunggu jawaban Jiyoung, takut Jiyoung akan marah. Namun Jiyoung malah mengangguk mantap, ''Oppa kau untuknya 2 bulan ini.'' Jiyoung terisak, ''Dia.. Dia pasti terus terluka karena aku. Dia pasti terluka melihat kedekatan kita selama ini. Temani dia Oppa.. Dia satu-satunya sahabatku.. Temani dia.. Kau harus selalu ada untuknya..disaat-saat terakhirnya..''
Myungsoo memeluk Jiyoung erat.
***
Jieun membuka matanya yang terasa berat. Infus terhubung di tangan kirinya. Jieun sadar dia tidak sedang berada di kamarnya, ini terlihat seperti rumah sakit yang sangat familiar dimatanya. Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri.
''Kau sudah bangun?'' tanya suara di sampingnya. Jieun mengenalinya sebagai Myungsoo, Jieun terkejut, ia takut Myungsoo tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, setelah Jieun ingat apa yang sudah terjadi sebelum ia tak sadar. Di sisi lain Jieun juga bingung harus bersikap seperti apa pada Myungsoo setelah Myungsoo tahu perasaannya yang sebenarnya.
''Apa yang dikatakan dokter?''
Myungsoo hanya tersenyum, ''Dia bilang kau hanya perlu istirahat. Semua orang tahu kau itu terlalu gila kerja. Sudahlah, ku beri kau cuti 2 bulan.''
Jieun heran sekaligus khawatir, ''Kau yakin? Dia tak bilang apa-apa lagi.''
''Aku yakin. Apa aku terlihat seperti berakting?'' jawab Myungsoo meyakinkan.
Jieun hanya menatap Myungsoo, tak bisa mempercayainya 100% namun tetap mengiyakannya.
''Baiklah, sekarang kita bersiap. Kajja!'' ajak Myungsoo.
''Kemana?''
''Dokter bilang kau sudah bisa pulang setelah bangun.'' Myungsoo berdiri lalu membantu Jieun bangkit.
''Kau yakin?'' tanya Jieun lagi, tubuhnya masih terasa lemah.
''Apa sekali lagi aku terlihat seperti berakting.''
Jieun hanya bisa menurutinya, merasa agak tidak sadar dengan apa yang sedang terjadi.
''Kenapa harus kau yang mengantarku pulang?'' tanya Jieun.
''Karena aku direkturmu, apa salah? Lagipula aku tetanggamu. Dan bukankah aku salah satu sahabatmu? Kita keluarga kan?''
Jieun benar-benar heran, ia tak menyangka Myungsoo akan bersikap seperti ini setelah tahu perasaannya yang sebenarnya pada Myungsoo. Jujur saja ini membuat Jieun sedikit melambung meski akhirnya terperosok jatuh lagi saat mengetahui kenyataan bahwa umur Jieun takkan bertambah, dan yang jelas semakin berkurang dan Jieun tak tak tahu sampai kapan ia bertahan. Maka dari itu dia tak mau terhanyut keadaan ini.
''Ani..'' Jieun menjauh dari Myungsoo, ''Biar aku pulang sendiri.'' namun tiba-tiba tubuh Jieun melemas dan hampir terjatuh.
Myungsoo menahannya, ''Bagaimana bisa kau pulang sendiri?'' candanya.
Setelah sampai di rumah Jieun, Myungsoo membantu Jieun berbaring di ranjangnya. Ini pertama kalinya ada seseorang yang memasuki kamarnya, dan itu Kim Myungsoo, direkturnya, tetangganya, sahabat barunya dan lelaki yang disukainya.
Selesai menyelimuti Jieun, Myungsoo melihat ke arah jendela, ''Jadi begini nampaknya kamarku dari sini.''
''Kau bisa pulang, gomawo sudah mengantarku.'' kata Jieun.
''Siapa bilang aku mau pulang?'' tanya Myungsoo. ''Kau punya bahan makanan?''
Belum sempat Jieun menjawab, Myungsoo sudah keluar kamarnya dan selang beberapa waktu kembali dengan semangkuk bubur.
''Jangan kira bubur buatanku tidak enak. Gyuri noona bilang buatanku nomor satu.''
''Sudah kubilang kau pulang saja, kenapa kau malah membuat bubur?'' tanya Jieun heran saat Myungsoo mencoba menyuapinya.
''Kenapa kau tidak panggil aku oppa lagi?'' Myungsoo terus mengatungkan tangannya di depan mulut Jieun yang tak masih tak menerima suapan itu. ''Buka mulutmu.. Aaaa, cepatlah.''
Jieun akhirnya membuka mulutnya, menerima bubur itu.
''Sebenarnya aku bisa memakannya sendiri, kau tak perlu menyuapiku.'' kata Jieun.
''Ani, aku tidak sedang menyuapimu, aku hanya membuatmu menyicipinya, lalu setelah itu kau makan sendiri. Dan aku akan pulang.'' Myungsoo beranjak pergi. ''Lupakan saja dulu pekerjaanmu.''
Jieun melihat punggung Myungsoo hilang di pintu dan memikirkan bahwa keadaan ini tetap terlalu aneh untuknya. Dia jadi menaruh curiga pada Myungsoo dan Jiyoung sekalipun.
***
''Kenapa kau selalu kesini?'' tanya Jieun beberapa saat setelah Myungsoo datang ke rumahnya lalu dengan seenaknya memasak sesuatu di dapur Jieun.
''Tidak boleh?'' tanya Myungsoo dengan tetap fokus terhadap masakannya.
''Kemana Jiyoung? Aku tak pernah melihatnya. seperti kau lebih banyak menghabiskan waktumu disini daripada dengan Jiyoung. Kau mau dia marah? Dan kenapa ponselnya tak bisa dihubungi?''
''Kenapa pertanyaanmu banyak sekali? Aku tak bisa menjawabnya.'' Myungsoo menyerahkan pisau dan beberapa kentang yang sepertinya ia bawa sendiri tadi, mengingat Jieun hampir tak punya bahan makanan. ''Daripada kau banyak bicara, kau kupas saja ini.''
Jieun kesal Myungsoo terus bersikap seperti dia adalah gadis bodoh yang harus terus dibantu, bersikap seakan Jieun butuh seseorang untuk selalu menjaga dan menemaninya. Jieun tak suka itu, walau dia tahu dan yakin keadaannya semakin memburuk, dilihat dari kesehariannya yang selalu menyiksa. ''Mian, aku pusing.'' kata Jieun jujur lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Jieun duduk di depan meja riasnya, menatap dirinya yang terlihat tak karuan di cermin. Jieun mengambil ponselnya dan berniat menelepon Jiyoung lagi, tapi tetap tak bisa.
Beberapa saat kemudian Myungsoo memasuki kamar, yang  sekarang bukan tempat pribadi lagi untuk Jieun semenjek Myungsoo selalu seenaknya masuk ke kamarnya ini.
''Makanannya sudah siap, kita bisa makan bersama.'' kata Myungsoo sambil menghampiri Jieun yang sedang menyisir rambutnya setelah mandi. ''Ah biar ku bantu.'' Myungsoo malah merebut sisir di tangan Jieun.
''Ya! Aku bisa melakukannya sendiri!'' Jieun agak berteriak.
Myungsoo tak mempedulikannya dan tetap menyisir rambut Jieun. Seperti ada guntur yang sudah menyambar, Myungsoo membeku setelah menyisir dan sejumput rambut Jieun terbawa dengan mudahnya di sisir itu. Sekali lagi kenyataan pahit menampar Myungsoo.
''Wae? Kenapa berhenti?'' tanya Jieun, ''Sudah kubilang aku bisa melakukannya sendiri.'' Jieun mencoba merebut sisirnya, namun dengan cepat Myungsoo menyembunyikannya.
''Sudahlah kita makan saja, aku sudah sangat lapar.'' tangan Myungsoo menyembunyikan rambut Jieun di sakunya agar Jieun tak melihatnya. ''Kajja!'' Myungsoo segera mengajak Jieun keluar. kecurigaan Jieun makin bertambah, ia sedang mencari cara agar ia tak terjebak dalam situasi ini.
***
Jieun keluar dari kamar mandinya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, lalu melempar handuk itu sembarangan ke lantai. Dia mulai mencoba menghubungi Jiyoung lagi, namun masih belum ada jawaban. Akhirnya Jieun menelepon dokter pribadinya, ''Yeoboseyo?''
''Yeoboseyo..'' dokternya menjawab, ''Lee Jieun-ssi?''
''Ya, ini aku.''
''Kemana saja kau? Kenapa kau tak pernah datang untuk terapi? Kau tahu apa yang akan terjadi pada kesehatanmu kan?''
''Aku tahu itu, sangat tahu. Tapi akhir-akhir ini aku sulit sekali pergi. Ada seseorang yang membuatku tidak leluasa pergi kemana saja tanpa membuatnya tahu penyakitku.'' jelas Jieun.
''Sebaiknya kau beritahukan saja penyakitmu pada orang terdekatmu, itu bisa lebih memudahkanmu, tanpa kau harus kesulitan lagi, kesehatanmu pasti menurun, kau tak bisa terus berpura-pura.''
''Ya aku tahu. Tapi.. Aku belum siap. Lagipula mungkin mereka sudah tahu dengan sendirinya.'' Jieun berjalan mondar-mandir di tempat tidurnya. Dan tiba-tiba berhenti setelah melihat handuknya uang ternyata penuh dengan rambutnya sendiri, dia tidak terkejut, ''Dan aku sudah mulai botak. Bisa kau jelaskan berapa lama lagi umurku sekarang? Aku sudah beberapa kali pingsan dan sulit bernafas, semuanya membuatku terlihat menyedihkan.''
Dokter itu menghela nafas, ''Aku tak bisa menjelaskannya di telepon, kau datanglah kemari, bagaimanapun caranya.''
Jieun tersenyum pahit, ''Tidak perlu.. Aku sudah tahu jawabanmu.
Jieun mengikat  sisa-sisa rambutnya lalu memakai topi agar kepalanya tak begitu terlihat. Ia menuju ke rumah Myungsoo dengan tekad bulat, tanpa menekan bel seperti yang Myungsoo biasa lakukan. Jieun juga tak terkejut saat menemukan Jiyoung ada disana bersama Myungsoo sedang berbincang dengan wajah khawatir mereka yang entah kenapa membuat Jieun marah.
''Kalian pikir aku bodoh? Kalian lupa seberapa pekanya aku?'' tanya Jieun, membuat Myungsoo dan Jiyoung terperanjat.
''Jieun-ah?'' Jiyoung menahan tangisnya melihat keadaan Jieun yang sudah lama tak dilihatnya.
''Karena kalian sudah tahu penyakitku dan perasaanku yang sebenarnya pada Myungsoo, kalian memperlakukanku seperti orang bodoh seperti ini? Kalian kira ini bagus?'' teriak Jieun.
''Jieun-ah dengarkan kami.'' kata Myungsoo menghampiri Jieun. Jiyoung mengikuti di belakangnya.
''Entah apa rencana kalian, aku tak akan bisa setuju, berhenti berakting didepanku seperti aku tak tahu apa-apa. Kalian hanya butuh bersikap jujur dihadapanku, itu sudah cukup.'' kata Jieun, tiba-tiba dadanya terasa sakit. ''Dan kau Jiyoung, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Itukan yang kau lakukan sampai sekarang. Dan mian, aku sudah menyukai Myungsoo lebih dulu dari kau. Harusnya aku tidak bersahabat bahkan bertemu dengan kalian jika akhirnya akan merepotkan kalian seperti ini.'' Jieun berbalik berniat pergi namun ia terbatuk dan mengeluarkan darah.
''Jieun!'' Jiyoung dan Myungsoo berhambur menghampiri Jieun, ''Gwenchana?''
Jieun melemas, ia hampir tak sadar dan berpegang erat pada Myungsoo. Dan Jiyoung juga berusaha memeganginya hingga Jieun benar-benar tak sadarkan diri.
***
5 tahun kemudian
''Anyeong!! Aku datang!'' teriak Gyuri sambil membawa banyak bawaan. ''Mana keponakanku?''
''Noona? Setelah sekian lama, kau baru muncul sekarang?'' tanya Myungsoo sambil membantunya membawakan barang-barangnya.
''Sudah kubilang aku baru sempat sekarang. Kau tahu salonku sudah semakin berkembang sekarang, aku benar-benar tak punya waktu luang. Ohya, itu untuk keponakanku.''
''Semua?'' tanya Myungsoo.
''Ya, tentu saja.'' jawab Gyuri heran.
''Lalu untukku?'' tanya Myungsoo.
''Aku lupa.'' Gyuri tertawa. Lalu memeluk Myungsoo. ''Aku beri kau ini saja. Sekarang aku tak bisa menciummu sembarangan atau istrimu akan marah'' guraunya.
''Eonni? Kau baru sampai?'' tanya Jiyoung yang baru saja datang dari supermarket.
Gyuri juga memeluknya, ''Ya, mian aku tak datang saat keponakanku lahir. Sekarang umur berapa dia?''
''Satu tahun.'' jawab Jiyoung.
''Dimana dia?''
''Tidur dikamar.'' jawab Myungsoo lalu Gyuri segera menghampiri keponakannya itu.
''Dia itu selalu berlaku seenaknya sendiri.'' gerutu Myungsoo, ''Dia bahkan hanya memberikan hadiah pada keponakannya.''
''Kekanakan sekali.'' kata Jiyoung. ''Cepat bantu aku siapkan makan siang!''
''Kau hanya bisa memerintahku?'' tanya Myungsoo kesal.
''Sudahlah jangan manja. Cepat!'' Jiyoung mengeluarkan semua bahan makanan yang tadi dibelinya.
Setelah mereka makan siang bersama mereka berkumpul di ruang tengah.
''Baiklah masakanmu enak sekali Jiyoung.'' kata Gyuri. ''Andai saja aku bisa makan siang bersama keponakanku...''
''Sudah kubilang dia baru tidur saat kau datang tadi, siapa yang tega membangunkannya?'' kata Myungsoo.
''Eonni bisa datang kesini kapan saja. Kalau bisa sesering mungkin supaya Oppa senang.'' jelas Jiyoung.
''Apa dia lebih menyukaiku daripada kau?'' canda Gyuri.
''Kau mau membuat kami bertengkar?'' tanya Myungsoo.
Gyuri diam saja, pandangannya sudah tertuju pada potret besar di hadapannya yang terpasang kokoh di dinding. ''Jadi, itu sahabat yang kalian ceritakan?''
Myungsoo dan Jiyoung melihat foto itu juga.
''Ne, geuraeyo..'' jawab Jiyoung.
''Sebegitu besarkah pengorbanannya?'' tanya Gyuri.
''Takkan terhitung oleh apapun.'' celetuk Myungsoo.
Mereka melihat foto berukuran besar dari Jieun yang sedang tersenyum, masih dalam penampilan sehatnya. Jieun yang setiap harinya terasa hidup yang dengan senyum dan tatapannya yang akan membuat penghuni rumah ini ceria saat melihatnya.
Flash Back
Jieun duduk di tengah Myungsoo dan Jiyoung di sebuah kursi taman rumah sakit itu. Jieun sudah berpakaian pasien dan kepalanya sudah dibungkus kain. Mereka sedang menikmati sore yang terasa tentram ini.
 ''Kalian satu-satunya keluarga yang aku punya.'' kata Jieun.
''Dan kau takkan tergantikan di hati kami.'' kata Jiyoung.
''Kau akan selalu di hati kami.'' tambah Myungsoo.
''Mianhae..'' suaranya melemah.
''Sudah kubilang kau tak perlu minta maaf lagi. kami sama sekali tak terepotkan olehmu.'' kata Myungsoo.
''Ani.. Mianhae.. Karena aku tak bisa menemani kalian lebih lama.'' jawab Jieun, dia sudah tak kuat menyangga kepalanya sendiri. Myungsoo menarik kepala Jieun ke pundaknya. Jiyoung menggenggam tangan kanan Jieun sedangkan Myungsoo menggenggam tangan kiri Jiyoung. Mereka berdua menahan tangis mereka.
''Gomawo...'' kata Jieun sambil tersenyum, ia menutup matanya.
''Gomawo..'' kata Myungsoo dan Jiyoung bersamaan saat merasakan tangan yang mereka genggam melemas dan mendingin.

THE END

6 komentar:

  1. Baru sempet baca smpai slsai dan terombang"ing emosi..

    BalasHapus
  2. xD ohya?
    thanks uda baca n komen ya... ^^

    BalasHapus
  3. wuaaaaaah baru sempet mampir ke blog ini lagi, ternyata udah sampe last part aja '-' itu akhiranya myungsoo jiyoung kawin terus punya anak gitu? ._.a eh itu akhirnya iu mati gitu? ._.a sedih banget baca last part nyaa T^T iu nya idupin lagi coba thor(?) ;_;

    BalasHapus
  4. wuaaaaaah baru sempet mampir ke blog ini lagi, ternyata udah sampe last part aja '-' itu akhiranya myungsoo jiyoung kawin terus punya anak gitu? ._.a eh itu akhirnya iu mati gitu? ._.a sedih banget baca last part nyaa T^T iu nya idupin lagi coba thor(?) ;_;

    BalasHapus
    Balasan
    1. kkkk Thanks ya uda setia sampe lasrt partnya... :D

      Hapus
  5. aku baca dari awal sampai selesai, dan sukses bikin air mata aku menetes
    ceritanya sediiih bangeeet T_T #huwaaaaaaaaaaaaaaaa

    #lebay

    BalasHapus