Cast:
Kag Jiyoung
Kim Myungsoo
Lee Jieun
Luhan
Byun Baekhyun
Cameo:
Lee Jangwoo
Park Minyoung
“KAU?” Jiyoung benar-benar terkejut bukan main.
“Sudah ku pastikan reaksimu akan seperti ini.” jawab Myungsoo.
Dengan cepat Jiyoung melepaskan genggaman Myungsoo di kedua lengannya.
Dia juga segera bangkit. “Bagaimana kau bisa ada disini? Kau
mengikutiku?”
“Apa sangat bagus jika aku mengikutimu?”
“Jangan bilang kau juga akan mengangkat kisah Lee Jangwoo!” tebakan Jiyoung benar-benar tepat.
“Kau kira aku kesini untuk berlibur?” Myungsoo tersenyum kecut, “Aku bukan orang macam itu.”
“Tapi… sejak kapan kau ada disini? Kenapa kau tidak naik kapal yang sama?”
“Aku sudah disini sejak kemarin.” Jawab Myungsoo lalu pergi.
“Andwe!!!!” Jiyoung berteriak membuat Myungsoo terkejut. Dia baru sadar
sedari tadi kamera digitalnya terkalung dilehernya. Jiyoung mencoba
menghidupkannya namun tak bisa. Itu sudah benar-benar rusak. “Aku sudah
tamat…”
Myungsoo tersenyum kecut lagi, “Dasar bodoh!”
katanya pelan. Dan melempar handuk pada Jiyoung lalu pergi begitu saja.
“Dasar vampireMyungsoo!!! Kenapa dia harus selalu punya pikiran yang sama denganku?????” Jiyoung murka. “Aigo!!! Eotokhe????? Aku harus bagaimana ini?”
***
Jieun sedang berada di depan pintu flat sederhana Myungsoo. Dia tahu
Myungsoo sedang pergi, jadi dia sengaja datang. Flat itu, Jieun sudah
lama sekali tahu, tapi dia tak pernah masuk ke dalamnya. Dan bahkan
Myungsoo tak tahu bahwa Jieun mengetahuinya.
Jieun
sudah membayar orang untuk membuka pitu yang terkunci itu. Malam ini
terasa dingin, dan udara di dalam flat Myungsoo juga dingin setelah
Jieun memasukinya dengan ragu. Dia benar-benar tak tega, Myungsoo harus
hidup di tempat seperti ini dua tahun ini. meski ia bisa mencegah semua
hal yang menyebabkan Myungsoo hidup seperti ini, dia tak sanggup
melakukan hal itu.
Jieun melihat ke sekeliling.
Benar-benar terlalu sederhana dari hidup Myungsoo yang seharusnya. Jieun
tak bisa berkespresi apa-apa tentang ini. dia hanya merasa Myungsoo
bodoh bisa berteman dengannya tapi tak mengenalnya dengan baik.
Jieun mulai menggeledah barang-barang Myungsoo. Dan benar, ia menemukan
sesuatu di sebuah kotak kardus kecil di pojok ruangan. Jieun segera
membukanya. Ternyata itu berisi artikel-artikel Koran yang di gunting.
Juga ada beberapa data tentang kematian orang tua Myungsoo dari rumah
sakit.
Jieun membaca sebuah artikel: ‘Suami Istri
Pemilik Perusahaan Otomotif nomor satu ‘Daehyun’ Tewas dalam Kecelakaan
Mobil’. Jieun juga membaca artikel lain yang berjudul: ‘Daehyun Terancam
Bangkrut, Pewaris Tunggalnya menghilang’.
Gadis lain
akan menangis jika berada dalam posisi seperti ini, Tapi tidak untuk
Jieun. Dia tak akan melakukan hal itu. Menurutnya itu terlalu
menyedihkan untuk dilakukan. Tapi benar hatinya serasa di tikam belati
yang baru saja di asah.
FLASH BACK
Myungsoo
yang sedari tadi mengikuti mobil orang tuanya karena curiga, segera
keluar dari mobilnya setelah dengan tiba-tiba mobil yang mereka naikki
berhenti di tengah jalan. Untung saja jalanannya sepi, mereka sedang ada
di jalan terpencil di desa pinggiran kota.
Myungsoo
masih berjalan lima langkah jauhnya saat dia mendengar ledakan dan
kilatan api yang berasal dari mobil orang tuanya. Jantung Myungsoo
seakan terperosok ke kakinya. Dia benar-benar shock, tak berani
membayangkan keadaan di dalam mobil itu. Kenyataan orang tuanya pergi
untuk selamanya menghujamnya bertubi-tubi. Ingin sekali dia bangun jika
itu hanya sebuah mimpi buruk. Tapi bukan, ini kenyataan.
Lutut Myungsoo melemas. Dia tersungkur ke aspal. Mungkin jika dia lebh
cepat beberapa detik, dia juga akan terbakar. Myungsoo melihat kobaran
api di depannya semakin besar.
Sedangkan Jieun yang
terpaksa ikut bersama Appanya, mereka sedang berada di dalam mobil yang
diparkir cukup jauh di belakang Myungsoo. Namun mereka bisa melihat
semua adegan yang Myungsoo lakukan.
Jieun menggenggam
tangannya kuat-kuat agar tubuhnya tak bergetar terlalu kuat. Dia agak
merasa tak sadar saat itu. Bagaimana tidak? Orang tua temannya, atau
mungkin akan segera ia anggap sahabat telah tewas begitu saja akibat
ulah Appanya sendiri.
Appa Jieun tertawa, “Akhirnya,
setelah sekian lama menunggu, mimpiku menjadi kenyataan. Kita akan
segera berada di atas. Tinggal urusan Kim Myungsoo itu. Kau bilang dia
temanmu kan Jieun, dan kau bilang kau yang akan membereskannya. Jadi
kuharap kau secepatnya bereskan dia.”
FLASH BACK END
Jieun segera mengosongkan kotak kardus itu dan memindahkannya ke
tasnya. Hanya itu, hanya itu yang bisa ia lakukan. Setidaknya dia bisa
menghambat terbongkarnya semuanya. Asalkan Myungsoo baik-baik saja, dia
sudah lega.
Dengan segera Jieun keluar dari flat
Myungsoo dan menguncinya kembali. Merapikan semuanya seakan tak ada
orang yang sudah masuk. Jieun berjalan menyusuri jalan malam itu dengan
perasaan tak karuan.
Kenyataan dia sudah berteman
dengan putra dari musuh bebuyutan keluarganya terus menghantuinya. Ia
sadar dia berada di posisi yang salah, tapi itu adalah hidupnya yang tak
bisa ia pungkiri. Dia terlahir sebagai musuh Kim Myungsoo. Dia
benar-benar tak bisa menghindarinya. Dan kenyataan yang lebih
menyakitkan lagi adalah, dia juga harus membereskan Myungsoo, dalam arti
melenyapkannya dari muka bumi ini.
Berdiri dalam
peran antagonis itu, Jieun berusaha kuat, meski dia terluka. Dia merasa
dia memang tercipta untuk itu. Saat ini ini dia hanya berusaha
memperlambatnya. Bagaimana dia bisa melenyapkan satu-satunya lelaki di
kehidupannya? Satu-satunya lelaki yang bicara padanya dan menganggapnya
teman baik. Dan mungkin saat ini satu-satunya lelaki yang mengisi
hatinya. Satu-satunya lelaki yang ia sukai.
Jieun
berhenti di bawah lampu penerangan jalan di gang itu, dia melihat tong
sampah di sebelahnya dan mengeluarkan berkas-berkas Myungsoo, meremasnya
lalu membuangnya.
Jieun beranjak pergi namun
tiba-tiba seseorang dengan sepeda kayuhnya berkecetapan tinggi
menabraknya, membuat Jieun tersungkur ke tanah. Dahi dan lututnya juga
tergores.
Lelaki yang tadi menabraknya segera
mendorong sepedanya yang menindih Jieun dan bertanya, “Gwenchana?
Jeongmal jwesonghamnida.”
Jieun dibantunya berdiri.
Dia melihat luka di dahi Jieun dan terkejut. “Jwesonghamnida. Rem
sepedaku agak rusak.” Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari tas
pinggangnya. Jieun baru menyadari lelaki itu sedang memakai jaket
bertuliskan merk susu. Di lihat dari sepedanya yang membonceng kotak
berisi berisi beberapa sisa susu, sepertinya dia seorang pengantar susu.
Tapi apa yang ia lakukan malam-malam begini? Bukankah pengantar susu
bekerja dini hari?
Ternyata lelaki itu mengeluarkan
sebuah sapu tangan jelek dan mengusap luka di dahi Jieun. Jieun segera
mengambil sapu tangan itu bermaksud mengusap sendiri lukanya.
“Sepertinya tidak sesepele kelihatannya. Jamkanmanyo.” Katanya dengan
nada begitu khawatir. Dia juga terus mengerutkan alisnya. Sepertinya dia
terlihat sangat takut berurusan dengan orang seperti ini. mungkin dia
takut jika harus membayar ganti rugi.
Lelaki itu pergi
ke arah belokan gang. Karena Jieun merasa agak pusing, dia mengurungkan
niatnya untuk pergi, dia memilih menunggu lelaki itu dan mengembalikan
sapu tangannya.
Tak lama lelaki itu kembali dengan
beberapa obat pertolongan pertama di tangannya. Dengan cepat dia
membersihkan luka-luka Jieun dan mengobatinya, juga memberi plaster.
Jieun benar-benar kikuk dengan perlakuan ini, Jieun segera
mengindarinya, “Gomawo. Aku benar-benar baik-baik saja….” Jieun melihat
plat nama kecil yang tersemat di jaket lelaki itu, “Byun Baekhyun-ssi.”
Jieun segera mengembalikan sapu tangan lelaki bernama Baekhyun itu lalu
pergi.
“Jeongmal jwesonghamnida!” Jieun masih bisa mendengar teriakan di belakangnya itu.
***
Hari ini Jiyoung terpaksa mengikuti kegiatan Lee Jangwoo tanpa kamera.
Dia benar-benar iri melihat Myungsoo yang sedari tadi memotret sana dan
sini. “Orang itu aneh sekali. Kenapa kemarin dia menyelematkanku? Seharusnya dia biarkan saja aku mati tenggelam.” Batinnya.
“Kau yakin akan melanjutkan liputanmu tanpa senjata?” tanya Myungsoo
santai. Mereka berdua sedang berjalan di belakang Lee Jangwoo dan
beberapa kliennya.
“Kau tidak perlu bertanya-tanya padaku. Ini urusanku. Urus saja urusanmu sendiri.” Jawab Jiyoung ketus.
Myungsoo hanya tersenyum.
“Cuaca hari ini sepertinya tidak akan secerah biasanya.” Kata Lee
Jangwoo. “Kalian harus hati-hati, karena daerah ini sangat licin bekas
hujan semalam.
Mereka mulai memasuki hutan di belakang hotel.
“Apa rencana anda dengan hutan ini?” tanya Myungsoo.
“Ah, aku akan membuatnya menjadi wahana jelajah seperti ini, tapi
dengan jalur yang lebih mudah tentunya. Makanya dalam waktu dekat ini
aku akan mengajak investor ke sini.” Jelasnya. Myungsoo kembali
memotret.
Mereka berjalan lagi lebih masuk. Dan
setelah sampai cukup jauh, mereka memutuskan untuk kembali karena
cuacanya sama sekali tak mendukung.
Setelah Lee
Jangwoo dan beberapa kliennya sedikit menjauh, Jiyoung punya satu
pikiran yang membuatnya harus menahan Myungsoo.
“Kim Myungsoo…” kata Jiyoung benar-benar ragu, dia tahu ini adalah pikiran yang gila.
“Wae?” tanya Myungsoo malas. “Cepatlah, kita bisa ketinggalan mereka.”
Mereka memang makin menjauh agak tak terlihat lagi.
“Aku…. Boleh aku meminjam kameramu?” tanya Jiyoung dengan sangat
terpaksa, dia menundukkan kepalanya, tak berani menatap Myungsoo. Dia
hanya sedang berpikir jika dia tak melakukan usaha apapun, dia akan sama
sekali tidak mendapatkan gambar yang ia butuhkan.
Myungsoo tertawa kecut, “Kau yakin? Jadi kau ingin urusanmu menjadi urursanku juga?”
Jiyoung benar-benar menyesal bertanya seperti itu tadi. “Baiklah, tidak
usah kalau kau tak mau. Tak perlu merendahkanku terus.” Kata Jiyoung
lalu berjalan mendahului.
“Ya! Jamkanmanyo, aku belum
bilang jawabanku.” Kata Myungsoo sambil mengejar Jiyoung, namun setelah
mereka dekat, Jiyoung mendorong Myungsoo sekuat tenaganya.
“Pergi!” teriak Jiyoung.
Seketika itu Myungsoo kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke jurang kecil di sampingnya.
“Kim Myungsoo!!” teriak Jiyoung panik, “Gwenchana?” tanyanya sambil menengok ke bawah.
Myungsoo diam saja. Jiyoung benar-benar merasa bersalah, dia takut
kalau Myungsoo pingsan atau sejenisnya. Dengan segera Jiyoung juga
menururni jurang kecil itu. “Kim Myungsoo? Gwenchana?”
Myungsoo diam saja dia tidak pingsan, tapi alisnya terus mengerut.
“Kau kenapa? Apa ada yang terluka?” tanya Jiyoung khawatir bukan main.
“Bisakah kau diam? Aku baik-baik saja. Aku hanya tak bisa berdiri.”
Myungsoo berkata dengan masih memejamkan matanya.
“Lalu apa yang terjadi? Apa kakimu?” Jiyoung melihat dan menyentuh pergelangan kaki Myungsoo.
“Aaaaaa!!” jerit Myungsoo, “Itu sangat sakit kenapa kau memegangnya?”
“Mianhae, aku tak tahu.” Jawab Jiyoung. “Lalu bagaimana caranya kau kembali?”
“Molla, kau bisa menguburku disini kalau kau mau.” Jawab Myungsoo.
“Ya! Kau kira aku gila?” teriak Jiyoung. “Sudahlah kau diam saja.”
Jiyoung sekarang dengan hati-hati membantu Myungsoo berdiri.
Dikalungkannnya lengan Myungsoo ke lehernya.
Myungsoo
juga menurutinya, dan sesekali mengeluh karena kakinya yang sakit harus
terkena tanah. “Aku baru tahu tenagamu sekuat ini.” katanya.
“Diam saja. Aku bisa saja membuangmu disini.” Kata Jiyoung.
“Sudah kubilang kau bisa menguburku hidup-hidup kan?”
Dengan susah payah, Jiyoung membawa Myungsoo kembali ke hotel.
Keringatnya bercucuran karena menahan beban Myungsoo yang tak sedikit
baginya.
Saat sampai di kamar Myungsoo yang ternyata
sangat dekat dengan kamarnya, Jiyoung mengantarkannya hingga ke
ranjangnya.
Jiyoung segera melepaskan sepatu Myungsoo, “Ya! Apa yang kau lakukan?” tanya Myungsoo.
“Diam saja.” Jawab Jiyoung lalu pergi ke kamar mandi dan membawa keluar
sebuah handuk yang sudah basah karena air hangat. Dengan sigap Jiyoung
membalut pergelangan kaki Myungsoo dengan handuk itu.
Myungsoo mengamatinya, menatapnya lekat-lekat, dia agak tak percaya
dengan yang dilihatnya sekarang, awalnya dia berpikir, Jiyoung mau
melakukan hal seperti ini hanya karena merasa bersalah, tapi Myungsoo
bisa melihat ketulusan di mata Jiyoung saat ini.
“Begini lebih baik kan?” tanya Jiyoung.
“Darimana kau dapatkan ilmu ini?” tanya Myungsoo.
“Sebenarnya aku sering melakukannya saat kakiku terasa lelah.”
Jawabnya. “Kalau begitu aku pergi.” Jiyoung beranjak pergi.
Myungsoo terus memandangi punggung Jiyoung sampai menghilang setelah Jiyoung menutup pintunya.
***
“Kau yakin?” tanya Luhan, dia sedang menghubungi Jiyoung dengan
ponselnya, “Aku bisa mengantarkan sebuah kamera kesana.”
“Aniyo. Kau tak perlu melakukannya. Kenapa aku harus selalu merepotkanmu?” jawab Jiyoung di seberang sana.
“Gwenchana. Aku akan mengantarkan sebuah kamera kesana.”
“Ani, sungguh, kau tak perlu melakukannya. Itu hanya akan samakin membuatku berhutang budi padamu.”
Luhan tersenyum, “Baiklah, terserah kau saja.” Jawabnya akhirnya.
“Kau hanya perlu mendengarkan ocehanku. Itu sudah sangat membantu. Kau
tahu sendiri tak ada yang tahan selain kau.” Jiyoung tertawa masam.
“Geurae, katakana saja apapun padaku. Aku akan dengan senang hati mendengarnya.”
“Baiklah, aku mau mengikuti orang itu lagi. Aku tutup dulu teleponnya.” Pamit Jiyoung lalu telepon mereka terputus.
Luhan masih tersenyum, dia benar-benar menyukai gadis itu. Gadis yang
memperlakukannya dengan cara berbeda. Gadis yang selalu ceria untuknya.
Gadis yang selalu mengisi hatinya sejak lama.
“Apa aku terlihat bodoh selalu bersikap seperti ini padamu?” batinnya tanpa mengurangi senyumnya.
FLASH BACK
Luhan terlihat begitu kecewa, sampai sekarang Jiyoung tak muncul juga.
Padahal pesawatnya akan berangkat sebentar lagi. “Kemana kau Jiyoung?”
Karena sudah tak ada waktu lagi, Luhan beranjak dari duduknya dan menuju pintu pemeriksaan.
“Luhan!!! Luhan!!!” tiba-tiba suara yang sedari tadi ia harapkan terdengar begitu kencang.
Jiyoung dengan penampilannya yang berantakan dan penuh keringat
berlarian mengampiri Luhan , “Mianhae aku terlambat.” Katanya, nafasnya
tersengal-sengal.
Luhan tersenyum senang, “Aku pikir kau tak peduli. Gwenchana..”
“Kau mau pergi ke Amerika dan belum tentu kembali aku tak peduli?”
Jiyoung mengerluarkan sesuatu berwarna biru tua dan memakaikannya
sebagai syal untuk Luhan. “Biarpun berantakan ini buatanku sendiri.
Ingat aku dengan syal ini ya.”
Luhan tersentuh dalam sekali, dia tak menyangka gadis seperti Jiyoung mau bersusah payah hanya untuknya. “Gomawoyo.”
“Dengan begini aku lega. Pergilah!” kata Jiyoung.
Tiba-tiba Luhan memeluk Jiyoung erat, “Aku akan sangat merindukanmu.”
“Geurae, geurae, aku juga akan begitu. Kau kira aku punya teman lain?”
Setelah itu dengan cepat Luhan melepas pelukannya karena pesawatnya
akan benar-benar segera berangkat. “Anyeong!” kata Luhan sambil berlari.
“Anyeong!!” jawab Jiyoung tersenyum lepas.
FLASH BACK END
Sekarang Luhan sudah menggenggam erat sebuah syal berwarna biru tua.
Syal yang selalu mengingatkannya kan Jiyoung. Syal yang Jiyoung buatkan
untuknya dengan sepenuh hati. Luhan tersenyum memandanginya.
***
Jiyoung memasukkan ponselnya ke tasnya setelah melihat Myungsoo berjalan terpincang ke lobi tempatnya berdiri.
“Kim Myungsoo!” panggil Jiyoung ragu.
Myungsoo dengan ekspresi agak terkejut mendengar panggilan itu,
memandang Jiyoung dan menghampirinya dengan, “Wae? Kau mau bersikap aneh
lagi?”
“Apa.. itu masih parah?” tanya Jiyoung sambil menunjuk pergelangan kaki Myungsoo.
Myungsoo menggeleng, “Sudah lebih baik, berkatmu.” Entah emngapa sudah tak ada pandangan merendahkan lagi kali ini.
“Aku…” Jioung mengacak-acak rambutnya. “Mianhada, jeongmal mianhada. Kemarin itu semua salahku.”
Myungsoo tersenyum. Sedikit terlihat seperti meremehkan dan tak percaya dengan ucapan maaf Jiyoung.
Jiyoung menahan emosinya melihat itu. Dia tak mau punya hutang apa-apa dengan musuhnya satu-satunya itu.
Tiba-tiba sebuah kamera tersodor di depan wajah Jiyoung, tepatnya itu kamera Myungsoo.
“Apa maksudnya ini?” tanya Jiyoung heran.
“Kau tidak mau? Bukankah kemarin kau mau meminjamnya?” tanya Myungsoo.
Jiyoung dengan cepat langsung meraih kamera itu dengan penuh kemenangan.
“Kau tidak berterima kasih?”
Jiyoung membungkukkan tubuhnya dan bersiap bicara, “Kamsahamnida…”
Myungsoo sudah tak mendengarnya dan sekarang sudah mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. “Yeoboseyo?”
“Dasar VampireMyungsoo! Dia itu pembunuh berdarah dingin!” bati Jiyoung kesal.
“Jaksa Kim?” Jiyoung mendengar Myungsoo. “Benarkah? Kau bersedia? Aku
tinggal membawa berkas-berkasku? Baiklah. Aku akan segera kesana.”
Myungsoo terlihat sangat senang dan puas. Ekspresi itu, tak pernah
Jiyoung lihat sebelumnya. Sungguh membuat penasaran hal apa yang membuat
Myungsoo bisa sebegitu semangatnya. Dia segera berlari ke resepsionis
dan check out.
Jiyoung agak terkejut melihatnya. Dia
bingung, tapi tak tahu harus berkata apa. Kenapa Myungsoo tiba-tiba
pergi seperti itu?
***
Jieun sudah
sampai di depan kafe favoritnya dan Myungsoo. Dia berharap tak bertemu
myungsoo disini. Dia memang yakin karena Myungsoo belum mau pulang hari
ini kan dari pula Jeju.
Namun saat Jieun sampai di
pintu kafe itu, Myungsoo di saat yang bersamaan juga berada di situ
berniat memasuki kafe itu juga, “Jieun-ah?” Myungsoo agak terkejut
melihat Jieun ada di situ. “Kebetulan sekali.” Kata Myungsoo.
Dengan terpaksa mereka satu meja. Jieun kembali terpaksa mendengar
Myungsoo lagi. Kali ini dia berusaha tak banyak bicara, sangat sulit
menjaga hatinya saat ini.
“Aku pulang lebih cepat
karena jaksa Kim menghubungiku, dia bilang dia bersedia membantuku kali
ini, tapi tiba-tiba saja semua berkasku hilang begitu saja. Aku heran
bukan main. Semuanya sudah bersih. Apa ada yang mencurinya? Aku tak
mungkin lupa menaruhnya.” Jelas Myungsoo panjang lebar setelah pelayan
mengantarkan dua cangkir kopi pesanan mereka.
Jieun mengamati saja.
“Padahal aku sudah yakin sekali, kali ini kasus kematian orang tuaku
bisa terungkap. Aku malah kehilangan semuanya. Kau tahu? Aku
meninggalkan liputan penting di Jeju, dan aku juga kehilangan kesempatan
dengan jaksa Kim.”
Jieun menyeruput kopinya menghilangkan kesempatan dia menatap Myungsoo lebih lama.
“Dan kau tahu apa yang terjadi? Di sana? Aku bertemu musuhku itu. Kang
Jiyoung, gadis hiperaktif yang gila itu. Parahnya lagi aku meninggalkan
kameraku yang paling penting padanya. Aku benar-benar sial kali ini.”
“Kenapa kau tak menangis saja? Dengan semua masalahmu, kenapa kau tak menangis saja?” tanya Jieun.
Myungsoo tersenyum, “Aku sudah bosan. Masa-masa itu sudah aku lewati. Ini saatnya aku bangkit.”
“Apa kau yakin gadis itu musuhmu?’
“Kang Jiyoung maksudmu?” Myungsoo tersenyum. “Bagaimana tidak? Kami
saingan dalam pekerjaan kami. Dan dia selalu mengahambat sepak
terjangku.” Myungsoo mengingat kejadian dimana dia terjatuh dan Jiyoung
membantunya sampai ke hotel. Bahkan wajah serius Jiyoung saat membalut
kakinya tak bisa ia lupakan.
“Selalu dalam
pikiranmu? Selalu kau ceritakan saat kita bertemu? Apa benar dia
musuhmu? Apa kau yakin kau tak menyukai gadis itu? Meski aku tak pernah
bertemu, aku tak menyukai gadis itu.” Jieun menyembunyikan perasaannya.
Myungsoo melihat ekspresi Jieun, yang sepertinya tak nyaman. “Kau
kenapa? Bisakah kau jelaskan padaku kenapa kau berubah dua tahun ini?”
Jieun diam saja, dia hanya memperhatikan Myungsoo seperti biasa.
“Saat aku mendapat pekerjaan tiga bulan lalu, kau juga tak memberiku
selamat. Bahkan kemarin setelah aku menang dari Kang Jiyoung untuk
kesekian kalinya, kau harus aku suruh terlebih dulu. Apa kau punya
masalah? Sudah ku bilang berkali-kali, kau bisa ceritakan masalahmu atau
keluargamu padaku. Kau tak mempercayaiku?”
“Mianhae.”
Kata Jieun. Kata-kata itu sebenarnya mewakili hatinya yang paling
dalam, meski tak bisa ia jelaskan. Dia semakin merasa seperti iblis
untuk Myungsoo.
“Kenapa malah minta maaf? Apa kau salah padaku?”
“Geurae,
mungkin kesalahanku ini tak bisa ditebus dengan apapun. Tetap menjadi
temanmu seperti sekarang ini pun aku sangat salah…benar-benar salah…” Batin Jieun. Jika hatinya punya air mata, pasti sudah mengalir deras sekarang.
Myungsoo meminum kopinya, “Baiklah, aku harus pergi. Aku sedang sibuk sebenarnya.” Myungsoo tersenyum lalu pergi.
Jieun terdiam. Meratapi hidupnya yang begitu rumit, yang benar-benar tak bisa dia atasi selain dia mati.
Jieun berjalan keluar kafe setelah membayar kopinya. Semakin hari,
langkahnya semakin terasa berat. Dia luar kafe lagi-lagi dia hampir
tertabrak oleh pengendara sepeda. Dan sepeda itu memang sama. Jieun
menatap pengendaranya, itu Byun Baekhyun.
“Omo! Kau?
Aku hampir menabrakmu lagi.” Kata Baekhyun lalu turun dari sepedanya.
“Kenapa aku harus selalu punya salah padamu? Bagaimana menebusnya?”
Jieun tak habis pikir, bagaimana Baekhyun ada di sini? Bukankah ini
daerah yang jauh dari daerah waktu itu? Bahkan dia masih berseragam
lengkap agen susu itu? Apa dia juga berjualan keliling? Ini kan sore
hari? Dia bahkan lebih membingungkan.
Jieun melihat
masih ada beberapa kemasan susu di keranjang sepedanya. “Kau keberatan?”
tanya Jieun lalu menunjuk kemasan susu itu.
Baekhyun agak bingung namun akhirnya dia mengerti.
Sekarang mereka duduk di kursi kayu panjang di pinggir jalan sambil
masing-masing susu. Entah mengapa Jieun mau melakukan itu, dia hanya
merasa dengan begitu dia bisa sedikit melupakan kehidupan rumitnya.
“Tak kusangka kau mau melakukan hal ini. aku kira kau gadis yang bersifat pendiam dan tertutup.” Kata Baekhyun.
Jieun mengangguk.
“Mwo? Aku benar. Lalu?”
“Molla.” Jawab Jieun.
Baekhyun tersenyum riang, “Kalau menurut penerawanganku, hidupmu tidak
semudah kelihatannya. Pasti kau punya masalah? Geurae?”
Jieun diam saja seperti biasa.
“Kau ingin bersenang-senang?” tanya Baekhyun.
Jieun menoleh menatapnya dengan penuh tanda tanya. Dia seakan lupa
bahwa di dunia ini biasa saja ada orang seperti ini.
“Kau bisa datang ke alamat ini sabtu besok. Ku jamin bisa membuat hati
senang.” Kata Baekhyun sambil menulis di sesobek kerta dan memberikannya
pada Jieun.
Jieun membacanya, “Tempat apa ini?”
“Kau akan tahu jika kau datang kesana.” Jawab Baekhyun sambil
tersenyum. Senyum itu, entah mengapa terlihat dia benar-benar hidup
bahagia di dunia ini.
Ini sudah waktunya Jieun pergi, sekarang dia memberikan selembar uang pada Baekhyun.
“Ambil saja.” Baekhyun mengembalikannya. “Anggap saja aku berhutang
padamu, dan aku hanya bisa membayarnya dengan ini.”
“Gomawo.” Kata Jieun lalu mulai melangkah pergi.
“Jamkanmanyo, namamu? Boleh aku tahu namamu?” tanya Baekhyun.
“Jieun, Lee Jieun.” Jawab Jieun lalu melanjutkan langkahnya.
***
Jiyoung dengan lega menyentuh daun pintu di hadapannya itu. “Akhirnya
aku bisa menemukan tempat ini.” Jiyoung mengamati tempat itu. “Jadi dia
bukan anak konglomerat sombong yang hanya mengandalkan koneksi?”
Jiyoung mengetuk pintu itu. Tak ada jawaban. Jiyoung terus menggedornya. “Kim Myungsoo! Kim Myungsoo!”
“Ya! Kau mau menghancurkan rumahku?” tiba-tiba Myungsoo ada di belakang
Jiyoung dengan wajah merahnya. Intinya dia sedang mabuk.
“Aigo…” Jiyoung menutup hidungnya. “Kau bau alkohol. Ternyata kau hidup macam ini?”
“Apa ..kau tidak bisa berfikir?” Myungsoo menunjuk rumahnya, “Jika tak
ada yang menjawab, berarti tak ada orang. Kau bodoh?” Myungsoo memutar
jarinya di dekat pelipisnya. Tiba-tiba tubuh Myungsoo melemas, dan
ambruk, tepatnya kepada Jiyoung, jadi Jiyoung harus menahannya sekuat
tenaganya.
Dengan bersusah payah, karena lebih berat
daripada saat Myungsoo sadar, Jiyoung membawa Myungsoo masuk ke rumahnya
yang sangat sederhana itu.
“Aku kira kau bukan tipe
lelaki yang akan mabuk seperti ini? apa masalahmu sebesar itu hingga kau
harus semenyedihkan ini?” tanya Jiyoung sambil mendudukkan Myungsoo di
lantai rumahnya yang sama sekali tak mempunyai kursi itu.
“Untuk apa kau bertanya? Seharusnya aku yang bertanya, untuk apa kau kesini?”
“Geurae, benar-benar sulit mencari tempat ini. aku sudah berkeliling
mencari alamatmu. Aku sudah bertanya kemana-mana. Hampir ke semua teman
jurnalis yang aku kenal, bahkan aku pergi ke kantormu tadi. Siapa suruh
kau pergi begitu saja waktu itu.” Jiyoung mengulurkan kamera Myungsoo.
“Hanya untuk ini?” tanya Myungsoo sambil meraih kameranya.
“Apalagi?” kata Jiyoung lalu berdiri, “Kalau begitu aku pergi. Gomawo,
kau sudah meminjamkan kameramu. Itu sangat membantu. Tapi..”
“Apalagi?” Myungsoo sudah terlihat makin lemas.
“Bukankah kau kehilangan berita Lee Jangwoo dengan pergi seperti itu?”
“Harusnya kau senang kan? Sudah pergi sana!” nada bicara Myungsoo
tinggi sedikit mengagetkan. Tak disangka Myungsoo bisa bersikap seperti
itu.
“Benar, kenapa aku khawatir? Seharusnya aku senang.” Batin Jiyoung sambil mencibir Myungsoo dan berjalan keluar dengan kesal. “Seharusnya aku buang saja kameranya.”
Sebelum Jiyoung menutup pintu, Jiyoung sempat melihat Myungsoo, “Dia… dia menangis? Apa aku tak salah lihat? VampireMyungsoo bisa menangis? Tapi untuk apa?” Jiyoung
sungguh keheranan dibuatnya. Ini benar-benar sisi lain dari Myungsoo.
Ada kekhawatiran dan setitik simpati di hati Jiyoung melihatnya.
***
“Luhan? Ada apa meneleponku sesore ini?” tanya Jiyoung setelah mengakat ponselnya.
“Aku hanya…” perkataan Luhan terpotong oleh Jiyoung.
“Jangan bilang kau mau menjemputku lagi.”
Luhan tertawa kecil, “Benar. Kau benar.”
“Ah, kenapa kau selalu membuat aku merepotkamu?” tanya Jiyoung, “Tapi…
tapi aku memang sedang mengirit biaya, bisa, kau bisa menjemputku.”
Jawab Jiyoung ceria.
“Kau bisa menjawabnya lebih awal tanpa harus menyebutku membuatmu merepotkanku.” Luhan tertawa.
“Ah, bagaimanapun aku juga harus menjaga harga diriku.” Jiyoung juga tertawa.
“Setelah itu kita pergi ke kafe favorit kita. Ada yang ingin ku berikan padamu.”
“Mworagoyo?” tanya Jiyoung penasaran.
“Akan tau nanti. Baiklah, aku jemput kau nanti. Anyeong!”
“Anyeong!” mereka mengkahiri telepon itu.
Jiyoung memasukkan ponselnya ke sakunya dan kembali masuk ke ruangannya.
Dia baru berniat duduk di kursinya saat tiba-tiba dua teman kantornya
mengampirinya. Salah satu di antara mereka adalah jurnalis baru.
“Jiyoung-ah, jurnalis sainganmu dari Live Smart itu bernama Kim
Myungsoo kan?” tanya si jurnalis senior, Park Minyoung.
Jiyoung mengangguk, “Ne, waeyo?”
“Ternyata dia itu pewaris tunggal grup Daehyun, kasus yang sering kau
bicarakan itu. Dia itu pewaris yang dikabarkan menghilang.” Jelas
Minyoung.
“MWO?” Jiyoung terbelalak.
TO BE CONTINUED.......

Tidak ada komentar:
Posting Komentar