Cast:
Kang Jiyoung
Kim Myungsoo
Lee Jieun
Byun Baekhyun
Luhan
Cameo:
Park Minyoung
Hong Yukyung
“MWO?” Jiyoung terbelalak. “Kau yakin? Apa bukan hanya namanya sama?”
“Maldo andwe.” Minyoung melambaikan tangannya. “Tanya saja padanya.” Minyoung menunjuk si jurnalis baru itu.
“Geurae Jiyoung sunbaenim, dulu aku juniornya di SMA. Aku sangat yakin itu dia. Bukankah fotonya pernah di muat di Live Smart?” Hong Yukyung meyakinkan Jiyoung.
Jiyoung benar-benar terkejut. Ini adalah kasus yang sejak dulu Jiyoung minati. Setelah mendengar berita kematian suami istri Daehyun itu Jiyoung sudah menaruh curiga yang mendalam, dan ingin sekali menemukan kebenarannya. Dan satu-satunya orang yang ingin ia ketahui keberadaannya adalah pewaris tunggal grup Daehyun itu.
“Kau bisa menanyainya, kau bilang kau ingin menyelidiki kasus ini?” goda Minyoung.
“Tapi bukankah mereka musuh?” tanya Yukyung.
Apa ini, semua ini yang disembunyikan Myungsoo? Itulah yang ada di pikiran Jiyoung saat ini. Jiyoung bahkan ingat saat Myungsoo menerima telepon dari jaksa Kim. Jaksa yang cukup terkenal itu. Apa Myungsoo juga bermaksud ingin menyelidiki kematian orang tuanya yang kurang wajar itu? Dan apa karena hal ini Myungsoo menangis semalam? Pirikan Jiyoung melayang kemana-mana.
“Jiyoung-ah, kau mau kemana?” tanya Miyoung saat Jiyoung dengan cepat melesat keluar.
***
Luhan mengerem mobilnya saat ia sampai di depan kantor Jiyoung. Cahaya sore sudah benar-benar hilang sekarang. Dengan tersenyum Luhan menyentuh kotak hadiah berwarna putih bersih dengan pita emas yang ia letakkan di kursi mobil sampingnya.
Luhan sudah melihat beberapa jurnalis keluar dari kantor itu. Di antara mereka ada yang menuju halte bus, atau menaiki taksi. Bahkan ada yang membawa kendaraan sendiri. Tapi, Luhan masih belum melihat Jiyoung.
Luhan mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan menghubungi nomor Jiyoung. Operator yang menjawabnya dan menyuruhnya meninggalkan pesan. Luhan hanya berpikir mungkin baterainya habis atau semacamnya. Luhan masih tersenyum.
Sekarang Luhan keluar dari mobilnya. Dia sudah cukup menunggu lama. hingga akhirnya, Luhan melihat dua orang gadis keluar dan segera menanyainya, “Permisi, Apa kalian melihat jurnalis Kang Jiyoung?”
Ternyata gadis itu adalah Minyoung dan Yukyung. “Ah, kau menunggu Jiyoung?” tanya Minyoung. “Dia sudah pergi sejak sore tadi. Entah kemana.”
“Ah, kamsa hamnida.” Jawab Luhan sambil tersenyum.
“Ne.” balas Minyoung lalu melanjutkan langkahnya bersama Yukyung.
Rasa kecewa menjalari tubuh Luhan. Tak biasanya Jiyoung seperti ini, kalaupun seperti ini, selalu ada alasan. Luhan pun kembali memasuki mobilnya.
Luhan mencoba menghubungi nomor Jiyoung lagi, namun operator tetap menyuruhnya meninggalkan pesan. Luhan mematikannya, dan mulai menulis pesan: Ada apa? Kenapa kau tak bilang lebih awal untuk membatalkan janji?
Luhan menyentuh lagi kotak hadiah itu, kali ini dia membukanya dan mengeluarkan sebuah syal berwarna biru tua seperti miliknya yang ia dapat dari Jiyoung, namun syal yang ini lebih rapi dan terlihat sempurna. Luhan khusus memesannya dari butik kepercayaannya.
Harusnya syal itu ia berikan untuk Jiyoung. Bermaksud membuat Jiyoung juga bisa mengingatnya jika melihat syal itu. Dan bila dia sanggup dia akan mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Jiyoung. Namun karena seperti ini keadaannya, dia semakin ingin bicarakan semua itu.
***
Jiyoung sampai di depan pintu rumah Myungsoo, dengan ragu mengetuk pintunya dan mendapat pandangan penuh tanya dari Myungsoo saat membukanya.
“Aku… ingin tanyakan sesuatu padamu.” Kata Jiyoung setelah dipersilahkan masuk.
“Kau yakin ingin berurusan denganku?” tanya Myungsoo heran.
Jiyoung mengangguk mantab, “Kau… em.. meski ini kedengarannya sangat tidak sopan. Bisakah kau jawab dengan jujur?”
“Tergantung apa yang kau tanyakan.”
“Apa, kau Kim Myungsoo pewaris tunggal yang dikabarkan hilang itu? Kim Myungsoo pewaris tunggal grup Daehyun?” Jiyoung bertanya dengan sangat hati-hati.
Ekspresi Myungsoo seketika berubah. Dia shock berat ada seseorang yang menyadari ini. dan dia tak bisa menerimanya karena itu Kang Jiyoung, gadis yang ia anggap musuhnya selama ini. Jurnalis dari majalah saingannya. Myungsoo menahan segalanya agar tetap terlihat biasa saja. Namun kenyataan itu memang tak bisa ia pungkiri.
Jiyoung melihat perubahan ekspresi itu, sangat mencolok. Itu membuat Jiyoung percaya bahwa semua itu memang benar. Jiyoung bisa mengerti perasaan Myungsoo saat ini. takkan mudah mengatasi situasi seperti ini. Jiyoung sadar hal yang ia lakukan saat ini memang gila, tapi dia tak bisa tinggal diam dengan kasus yang satu ini. bahkan dengan melihat keadaan Myungsoo sekarang ini, dia semakin berniat untuk membantu Myungsoo, apa saja yang bisa membuat semuanya terungkap.
Myungsoo tertawa, tapi itu sangat pahit, “Apa yangkau bicarakan?”
“Jawab saja dengan jujur.” Kata Jiyoung sungguh-sungguh.
Melihat kesungguhan itu, Myungsoo agak luluh, namun sesuatu dalam dirinya menyuruhnya memerangi itu. “Apa kau kesini hanya untuk menanyaiku hal sebodoh itu?”
“Geurae, kalau memang menurutmu ini bodoh.” Jiyoung mengangguk. “Apa kematian orang tuamu yang begitu ganjil itu hanya hal yang bodoh bagimu?”
“Apa kau sudah gila? Cepat pergi dari sini!” Myungsoo mulai mengusir Jiyoung.
“Aku yakin aku benar. Dan aku sudah punya saksi yang membuktikan kau memang pewaris Daehyun. Kau tak bisa mengelak lagi dariku Kim Myungsoo.” Jelas Jiyoung tegas.
“Pergi!” Myungsoo kali ini mendorong Jiyoung dan membanting pintu di depan Jiyoung.
Myungsoo berdiri menahan tangis di belakang pintu itu. Matanya berkaca-kaca, otot wajahnya terlihat begitu jelas. Dia yang selama ini terlihat baik-baik saja meski mempunyai masalah seperti itu, tak bisa lagi menyembunyikan hal ini. dia tak sekuat kelihatannya. Dia tak sekuat yang diketahui oleh Jieun atau bahkan Jiyoung. Dia menyimpan begitu dalam luka atas tewasnya kedua orang tuanya dan perampasan perusahaan keluarganya itu hingga dia harus hidup seperti ini.
Jiyoung yang sedari tadi menggedor pintu Myungsoo akhirnya menyerah, dia pikir mungkin ini bukan saat yang tepat. Jiyoung pulang dengan rasa kecewa.
***
Jieun berkali-kali melihat sobekan kertas pemebrian Baekhyun. Ini adalah hari sabtu yang dibicarakan Baekhyun waktu itu. Sedah sejak semalam Jieun memikirkan hal itu. Dia sangat ingin kesana, meski seharusnya dia belum bisa mempercayai Baekhyun sepenuhnya. Dia memang hanya ingin bersenang-senang. Tapi hati kecilnya melarangnya bersenang-senang akiat perbuatan jahatnya selama ini pada satu-satunya temannya.
Dia membalik-balik kertas itu. Melipat-lipatnya bahkan sempat meremasnya. Sambil memandangi pemandangan di luar kaca mobil yang sedang melaju itu, dia bimbang. Benar-benar bimbang.
Namun tiba-tiba Jieun mengulurkan kertas itu pada sopirnya, “Kita pergi ke alamat ini sekarang.”
“Tapi bukankah nona harus pergi kursus?” tanya sopirnya.
“Tak akan ada yang tahu jika kau tak bicara.” Jawab Jieun.
Akhirnya sopinya menurut. Melajukan mobil itu menuju ke pinggiran kota Seoul dan ternyata menuju sebuah panti asuhan. Jieun turun setelah sampai dan melihat bangunan kuno yang terlihat jelas pada panti asuhan itu.
Karena mobil Jieun berhenti agak jauh, Jieun harus berjalan terlabih dahulu, saat itu juga dia melihat seseorang sedang beradu mulut dengan sekelompok orang yang bertubuh besar.
Jieun melihat sekeliling untuk melihat apa ada yang tahu dengan ketidak sopanan itu, tapi ternyata kawasan itu sangat sepi. Hanya ada beberapa rumah yang lebih terlihat seperti rumah kosong.
Sekarang Jieun menyadari bahwa orang itu adalah Baekhyun sendiri, sepertinya dia sedang berkutat dengan rentenir atau sejenisnya. Terlihat dari orang-orang bertubuh besar yang dibawanya. Tiba-tiba Baekhyun di hajar habis-habisan, membuat Jieun terkejut dan panic bukan main.
“Cepat keluar! Bantu lelaki itu!” Jieun meminta sopirnya yang meski tak bertubuh besar itu, namun ia benar-benar diakui keahlian bela dirinya. Oleh sebab itulah Appanya mempercayakan Jieun padanya.
Dengan sigap sopi jieun melumpuhkan semua orang itu dan menyelamatkan Jieun. Dan akhirnya masalah itu berakhir setelah Jieun memberi mereka cek dengan jumlah besar. Meski Baekhyun melarangnya, Jieun tak peduli. Dia rasa hanya denganbegitu Baekhyun bisa baik-baik saja.
Sekarang Jieun sudah berada di dalam salah satu ruangan di panti itu dan mengobati luka-luka Baekhyun dengan sangat hati-hati.
“Jeongmal gomawoyo.” Kata Baekhyun, dia masih bisa tersenyum dengan luka-lukanya itu.
Jieun diam saja, dia lebih fokus mengobati luka Baekhyun.
“Karenamu, mungkin hidup anak-anak disini jadi lebih baik. Mereka tidak akan ketakutan lagi para rentenir itu datang. Dan kau pasti mereka anggap peri.”
Jieun menatap Baekhyun sekarang, dengan tanda tanya.
Baekhyun meraih lengan Jieun dan menariknya membawanya keluar ke halaman tempat anak-anak penghuni panti asuhan itu bermain dan melakukan berbagai kegiatan mereka. Entah mengapa ada sesuatu yang hangat menjalari hati JIeun saat melihat itu semua.
“Dulunya aku juga tinggal disini.” Kata Baekhyun.
“Kau?” Jieun tak menyangka Baekhyun adalah seorang yatim piatu. Bukankah hidupnya juga cukup miris? Kenapa dia bisa seceria itu? Seakan tak ada suatu hal pun telah terjadi padanya.
Baekhyun mengangguk, “Pemilik panti bilang, seseorang mengantarkanku yang masih bayi ke tempat ini setelah dia menemukanku di tumpukan sampah dan hampir dimakan anjing liar.”
Mendengar cara Baekhyun menceritakan hidupnya yang sebenarnya sangat menyedihkan dengan sangat ringan membuat Jieun tak habis pikir, bahkan dia terlalu takut untuk mengaguminya.
“Eonni?” seorang gadis kecil bersama beberapa temannya menghampiri mereka berdua. “Kau peri yang menyelamatkan kami kan?”
Jieun tak bisa menjawab apa-apa. Dia hanya tertegun dengan itu semua.
Baekhyun tertawa melihat tingkah Jieun. “Geurae, geurae dia itu peri yang kalian impikan itu. Bukankah dia cantik?” Akhirnya Baekhyun yang bicara.
Jieun hanya memperhatikan Baekhyun, dan heran akan alasan Baekhyun bicara seperti itu.
Gadis-gadis kecil itu bersorak gembira. Bahkan beberapa anak lain juga ikut menghampiri Jieun. Beberapa diantaranya bahkan dengan senang hati memeluk Jieun erat. Membuat Jieun harus berdiri dengan lututnya.
Baekhyun senang sekali melihatnya. “Jieun-ah, sepertinya mereka menyukaimu, sangat menyukaimu.”
Tanpa sadar, Jieun tersenyum. Untuk pertama kalinya Baekhyun melihat itu. Bahkan Baekhyun tersihir oleh senyum cantik itu dan membuatnya terdiam.
Tiba-tiba seorang gadis yang umurnya lebih tua dari gadis-gadis yang tadi menghampiri Jieun, “Eonni! Jangan bilang kau pacar Baekhyun oppa!” katanya ketus.
Jieun hanya melihatnya.
“Baru kali ini dia membawa gadis kesini, apa kau benar pacarnya?” tanya gadis itu lagi. “Dia itu milik kami! Milikku!”
Sekarang Jieun sudah berdiri.
“Ya! Hyunji-ah.” Baekhyun menyentil pelan pelipis gadis itu. “Belajarlah, kau belum cukup umur untuk hal itu. Dan kau perlu banyak belajar jika ingin menjadi eonni ini. Kau takkan bisa menandinginya.”
Gadis itu kesal dan memajukan bibirnya berlebihan lalu pergi. “Oppa nabba!!!”
Baekhyun tertawa melihatnya.
“Sepertinya aku bisa membayangkan kesukaan mereka terhadapmu.” Kata Jieun saat dia dan Baekhyun duduk di kursi taman belakang panti.
“Karena mereka semua menganggap aku kakaknya. Dan mungkin mereka tak bisa mengelak dari pesonaku.” Baekhyun tertawa.
Itu tak bisa membuat Jieun tertawa atau sejenisnya. Dia diam saja membiarkan Baekhyun mengeksplor dirinya seluas mungkin.
“Dan sepertinya hidupmu sangat cerah. Begitu cerah hingga aku tak bisa melihatnya. Berbeda jauh denganku.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Jieun. Meski hal seperti itu tak biasa ia lakukan, ini terjadi begitu saja pada Baekhyun.
“Wae? Seperti apa hidupmu? Aku memang bisa melihat kemuramanmu setiap kita bertemu.”
“Mungkin aku harusnya tak layak hidup di dunia ini, atau bahkan di panggil peri oleh anak-anak itu.” Jawab Jieun. Entah emngapa dia merasa bebas mengucapkan itu semua dan mempercayai Baekhyun. Mungkin justru dia tak begitu mengenal Baekhyun ataupun sebaliknya, itulah yang membuatnya percaya dan bebas bicara. Karena Baekhyun takkan bisa melakukan apa-apa untuk punya urursan dengan Jieun.
“Seperti apa hidupmu?” Baekhyun bertanya dengan serius.
“Aku adalah gadis yang hanya mempunyai satu teman. Bahkan satu teman itu sudah aku hianati. Bayangkan saja aku hidup sebagai musuh dalam selimutnya. Aku baru mengetahui bahwa kami sebenarnya musuh dalam arti sebenarnya. Aku malah mendapat tugas melenyapkan musuh itu, setelah orang tuaku selesai melenyapkan kedua orang tuanya.”
Baekhyun tak bisa berkata apa-apa. Dia terlalu bingung mencerna cerita itu.
“Ani, aku tak di beri tugas. Aku yangmemutuskan untuk menerima tugas itu. Karena dengan begitu aku bisa memperlambatnya hilang dari dunia ini.” Jieun terus bicara sambil menatap lurus kedepan. Pandangannya kosong.
“Apa maksdunya ini? apa ini semua dalam arti sebenarnya? Kau harus membunuh temanmu sendiri karena sebenarnya keluargamu adalah musuh keluargannya?”
Jieun mengangguk, “Aku semakin tersiksa saat melihat betapa cerianya dia meski dia mendapat semua masalah itu. Bagaimana dia bisa sekuat itu? Itu malah membuatku tak tahu harus berbuat apa.”
“Lalu kenapa kau mau melakukannya jika tersiksa seperti ini?”
“Sudah terlambat, aku terlahir sebagai musuh bebuyutannya. Karena aku tak bisa menyelamatkannya, aku juga harus membunuhnya, seperti yang dilakukan orang tuaku pada orang tuanya.”
“Aku benar-benar tak menyangka hidupmu semacam ini.”
Kali ini Jieun menatap Baekhyun, “Wae? Apa kau menyesal mengenalku?”
“Ani, aku malah bersyukur mengenalmu. Mungkin Tuhan mengirimku padamu untuk menghentikan semua itu. Mencegahmu melakukan hal yang tak seharusnya kau lakukan.”
Jieun tersenyum kecut.
“Tak ada yang terlambat Jieun. Kau masih bisa merubah semuanya.” Kata Baekhyun sungguh-sungguh. “Bagaimanapun mereka orang tuamu. Mereka pasti akan mendengarkan penjelasanmu.”
“Aku hidup dalam keluarga yang berbeda Baekhyun. Aku tak bisa melakukan apa yang biasa anak keluarga lain lakukan pada orang tuanya. Begitu juga orang tuaku, mereka tak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan orang tua lain untuk anaknya.”
“Kau bisa lihat aku kan? Jika kau melihat dari sisi menyedihkan, Aku akan sangat menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Tapi lihatlah dari sisi lain. Kau bisa merasakan betapa bahagianya aku hidup di dunia ini sekarang kan?”
Semua kata-kata itu. Semua perkataan itu benar-benar memaksa Jieun meluluhkan hatinya akan semua masalahnya selama ini. Namun hati kecilnya kembali memberitahunya bahwa dia bahkan tak pantas melakukan pengapunan dosa dan bertobat. Kesalahannya pada Myungsoo, lelaki yang benar-benar ia cintai itu terlalu besar.
“Kau masih bisa mencegah semuanya Jieun-ah.. kau harus meminta maaf padanya/” kata Baekhyun sungguh-sungguh.
“Dia tak tahu. Dia tak tahu siapa aku sebenarnya. Kami memang berteman sejak lama, tapi aku menyembunyikan identitasku adanya. Aku sudah pernah ingin memberitahunya siapa aku. Tapi di saat itulah aku mengetahui kenyataan dia musuhku. Kami memang ditakdirkan dan dilahirkan sebagai musuh yang tak mungkin bisa bersatu.”
Kenyataan baru ini ternyata malah membuat Jieun serba salah. Baekhyun, satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya itu, bukankah dia juga terancam bahaya? Appanya bisa melakukan apa saja pada setiap orang yang menghalangi rencananya.
***
“Luhan!!!! Jeongmal mianhaeyo!!!!! Mianhae!! Mianhae…” kata Jiyoung setelah Luhan membukakan pintu apartemennya untuk Jiyoung.
“Jiyoung?” Luhan agak terkejut melihat Jiyoung.
“Aku benar-benar minta maaf. Waktu itu ponselku mati dan aku ada urusan mendadak jadi aku lupa memberitahumu.” Jelas Jiyoung setelah duduk bersama Luhan di sofanya.
Luhan tersenyum meski dia masih kecewa dengan hal itu, “Gwenchana.”
“Ah, kau ini kenapa tak pernah marah padaku? Marahi saja aku! Bukankah aku membuatmu kesal harus menunggu dan baru memberitahumu sekarang?”
Luhan benar-benar tersenyum tulus saat ini setelah melihat tingkah Jiyoung yang akan selalu membuatnya melunak. “Kau sudah menjelaskannya, aku tak perlu marah kan?”
“Kau yakin? Sudah hanya seperti itu?” tanya Jiyoung heran.
Luhan mengangguk.
“Kalau begitu berikan sekarang saja.”
“Mwo?”
“Barang yang akan kau berikan padaku.” Jawab Jiyoung sambil tersenyum.
Luhan tersenyum juga, “Aku rasa bukan sekarang.”
Jiyoung menekuk wajahnya, “Benarkah?” dia membuat gerakan seakan dia kecewa. “Baiklah, aku sudah selesai. Lebih baik aku pergi sekarang.” Jiyoung beranjak lalu berjalan menuju pintu.
Merasa tidak ingin melewatkan kesempatan lagi, Luhan segera berlari ke kamarnya dan mengambil kotak hadiah berisi syal itu.
“Jiyoung-ah!” panggil Luhan, dan Jiyoung pun menghentikan langkahnya.
“Ini untukmu.” Luhan mengulurkan kotak itu.
“Ini apa?” tanya Jiyoung penasaran sambil meraih kotak itu.
“Aku inginkau juga mengingatku dengan ini.” jawab Luhan.
Jiyoung membukanya dan tersenyum, “Kalau ini buatanmu pasti tak mungkin serapi ini. tak apalah aku menyukainya.” Jiyoung terlihat senang, “Sepertinya kalau kau membuatnya sendiri tidak akan lebih rapi dari milikku.” Jiyoung tertawa.
“Jiyoung-ah.” Luhan tak tertawa dengan cadaan Jiyoung.
“Wae?” Jiyoung heran dengan perubahan sikap itu.
“Aku tahu mungkin aku terlihat bodoh atau konyol. Tapi aku tak mau menyalah artikan persahabatan kita lagi. Nan neol joahae. Saranghae Jiyoung-ah…”
Jiyoung terpaku, lalu segera ia tertawa, meski dipaksakan. Jiyoung tahu itu tak mungkin suatu lelucon, Luhan bukan tipe orang seperti itu. Namun untuk mempercayainya juga sangat sulit. Lantas apa yang harus dia jawab, di saat ini terjadi pada sahabatnya sendiri? Jiyoung benar-benar bingung harus bagaimana.
“Kau yakin kau sedang sadar 100% sekarang?” tanya Jiyoung.
“Aku yakin. Jangan anggap aku main-main. Kau mengerti aku lebih dari siapapun.” Kata Luhan sungguh-sungguh, “Mian jika ini sangat mengejutkanmu. Aku hanya ingin segera memperjelas semuanya.”
***
Jiyoung mengetuk pintu rumah Myungsoo lagi. Kali ini dengan kemauan yang kuat. Beberapa kali setelah Jiyoung mengetuk, Myungsoo baru membukanya.
Karena melihat Jiyoung yang ada di hadapannya, Myungsoo sudah mau menutup lagi pintunya, namun Jiyoung menahannya dengan kakinya. “Kim Myungsoo, kau harus dengarkan aku!”
“Pulanglah kalau tujuanmu kesini hanya karena hal bodoh itu.” Myungsoo terus mendorong pintunya.
Dengan cepat Jiyoung mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya. “Apa kau sungguh-sungguh tak membutuhkan ini?”
Myungsoo sedikit goyah setelah melihat berkas-berkas yang sebenarnya itu dia butuhkan. Sepertsekian detik Myungsoo heran bagaimana bisa Jiyoung juga bisa mempunyai semua itu.
“Ini semua aku kumpulkan sejak dua tahun lalu.” jelas Jiyoung menjawab pertanyaan Myungsoo.
“Pulanglah!” Myungsoo tetap berusaha tak luluh pada Jiyoung, meski itu terasa sangat sulit untuknya. Entah mengapa dia bisa seperti itu pada Jiyoung. Kali ini Myungsoo berhasil menutup pintunya.
“Kim Myungsoo, dengarkan aku, bukankah ini menguntungkanmu?” Jiyoung menggedor pintu Myungsoo.
Setelah agak lama Jiyoung menggedor pintunya, tiba-tiba Myungsoo membukanya dan menarik Jiyoung masuk.
“Wae? Kau sduah menyerah?” tanya Jiyoung heran.
“Kau bisa membuatku di tending keluar dari daerah ini jika kau terus gaduh seperti itu.” Kata Myungsoo. “Baiklah, aku terima tawaranmu.” Myungsoo akhirnya tunduk pada Jiyoung. Dia merasa memang ini satu-satunya jalan untuk mengungkap kasus kematian orang tuanya.
Semenit kemudian, mereka berdua sudah berkutat dengan internet dari laptop Jiyoung. Mereka mencari berbagai informasi yang bisa menguatkan dugaan mereka. Mereka bertindak seperti detektif meski mereka sama sekali tak tahu bagaimana cara melakukannya.
“Kau, apa kau ingat bagaimana saat terakhir itu?” tanya Jiyoung, “Sudah jangan pikirkan hal-hal lain, jawab saja.”
Myungsoo dengan sangat sulit akhirnya menjawabnya, “Aku mengikuti mereka. Mobil mereka meledak di hadapanku. Jika aku lebih cepat sedikit saja, mungkin mereka bisa selamat.”
Jiyoung baru tahu itu, pasti sangat menyakitkan melihat itu semua. Jiyoung benar-benar tak menyangka Myungsoo sudah melalui itu semua dalam hidupnya. Jiyoung tak pernah punya bayangan dia akan bisa mewawancarai korban secara langsung seperti ini. seandainya saja Jiyoung mengetahui masalah Myungsoo lebih awal, mungkin dia sudah bergerak jauh.
“Aku sudah curiga mengapa mereka tiba-tiba pergi dari rumah dan mengendarai mobil mereka disaat yang sedang genting itu. Aku dengar saat itu perusahaan mengalami masalah besar, meski aku tak mau tahu apa itu.”
“Apa kau tahu siapa musuh perusahaan atau semacamnya?” tanya Jiyoung.
“Aku pernah dengar tentang JS grup, mereka nilang itu saingan utama Daehyun.” Jawab Myungsoo berusaha sesantai mungkin meski semua kenangan itu menyayat hatinya.
“Bukankah itu perusahaan yang nomor satu sekarang?” tanya Jiyoung lalu dia kembali berkutat dengan internet. Sangat lama cukup lama hingga saat Jiyoung berbalik kea rah Myungsoo, Myungsoo sudah tertidur di lantai.
“Ya! Kim Myungsoo!” teriakan Jiyoung tak berhasil membangunkan Myungsoo.
Hati Jiyoung tergetar setelah melihat wajah malaikat Myungsoo saat tidur. Wajah itu, selalu menahan ekspresi sedihnya karena semua masalah itu. Betapa kuatnya dia selama ini bertahan hidup. Tidak membunuh dirinya sendiri, itu sudah bagus. Bukankah dia sebatang kara sekarang?
Tanpa sadar Jiyoung sudah sangat dekat dengan kepala Myungsoo. Melihatnya lebih dekat, hanya itu saja. Tapi tiba-tiba Myungsoo membuka matanya, “Jangan bilang kau menyukaiku sekarang.”
Sontak Jiyoung membeku dan terpikirkan sesuatu yang terlintas di otaknya.
“Kau kenapa?” tanya Myungsoo melihat Jiyoung membeku seperti itu.
“Ani.” Jiyoung langsung kembali. “Aku sudah menemukan informasi tentang JS grup.
Jiyoung teringat oleh Luhan, saat mendengar kata-kata suka itu, dia langsung teringat Luhan. Orang yang tengah menyukainya saat ini. Tapi sampai sekarang Jiyoung tak bisa menjawab apa-apa pada Luhan.
“Informasi macam apa?” tanya Myungsoo.
“Keluarganya, saham-sahamnya, atau apa sajalah.” Jawab Jiyoung. “Mereka juga punya pewaris tunggal sepertimu, tapi seorang gadis.” Jelas Jiyoung.
“Pasti dia lebih hebat dariku.” Celetuk Myungsoo.
Sekarang Jiyoung memperlihatkan foto-foto mereka. “Presdirnya bernama Lee Jaeseong.”
“Itulah kenapa aku mencurigai perusahaan saingan Daehyun, karena di malam-malam terakhir orang tuaku, aku sering melihat orang itu datang ke rumah.” Myungsoo mengingat semua kejadian yang bisa ia ingat. Di saat seperti ini adalah saat dia paling menyesal karena dia dulu tak begitu peduli dengan masalah perusahaan Appanya, atau bahkan kesehatan Appanya dan masalah-masalah yang sedang dihadapi orang tuanya.
“Geurae, dalam kasus seperti ini, musuh utama memang patut dicurigai. Bukankah kecelakaan orang tuamu terlalu ganjil?” kata Jiyoung lalu membuka-buka foto lain. “Ah, ini anak mereka. Pewaris tunggal JS grup. Dia terlihat cerdas. Lee Jieun.”
Myungsoo yang sedari tadi berkutat pada ponselnya tiba-tiba terkejut mendengar perkataan Jiyoung. “Lee Jieun katamu?”
“Geurae, aku baru lihat fotonya. Sepertinya ini baru.” Jawab Jiyoung. Lalu menunjukkan fotonya pada Myungsoo.
Myungsoo mebuka matanya lebar-lebar. Wajah itu, wajah gadis dalam foto itu tak salah lagi, itu Lee Jieun yang ia kenal, “Lee Jieun?”
TO BECONTINUED.....
Kang Jiyoung
Kim Myungsoo
Lee Jieun
Byun Baekhyun
Luhan
Cameo:
Park Minyoung
Hong Yukyung
“MWO?” Jiyoung terbelalak. “Kau yakin? Apa bukan hanya namanya sama?”
“Maldo andwe.” Minyoung melambaikan tangannya. “Tanya saja padanya.” Minyoung menunjuk si jurnalis baru itu.
“Geurae Jiyoung sunbaenim, dulu aku juniornya di SMA. Aku sangat yakin itu dia. Bukankah fotonya pernah di muat di Live Smart?” Hong Yukyung meyakinkan Jiyoung.
Jiyoung benar-benar terkejut. Ini adalah kasus yang sejak dulu Jiyoung minati. Setelah mendengar berita kematian suami istri Daehyun itu Jiyoung sudah menaruh curiga yang mendalam, dan ingin sekali menemukan kebenarannya. Dan satu-satunya orang yang ingin ia ketahui keberadaannya adalah pewaris tunggal grup Daehyun itu.
“Kau bisa menanyainya, kau bilang kau ingin menyelidiki kasus ini?” goda Minyoung.
“Tapi bukankah mereka musuh?” tanya Yukyung.
Apa ini, semua ini yang disembunyikan Myungsoo? Itulah yang ada di pikiran Jiyoung saat ini. Jiyoung bahkan ingat saat Myungsoo menerima telepon dari jaksa Kim. Jaksa yang cukup terkenal itu. Apa Myungsoo juga bermaksud ingin menyelidiki kematian orang tuanya yang kurang wajar itu? Dan apa karena hal ini Myungsoo menangis semalam? Pirikan Jiyoung melayang kemana-mana.
“Jiyoung-ah, kau mau kemana?” tanya Miyoung saat Jiyoung dengan cepat melesat keluar.
***
Luhan mengerem mobilnya saat ia sampai di depan kantor Jiyoung. Cahaya sore sudah benar-benar hilang sekarang. Dengan tersenyum Luhan menyentuh kotak hadiah berwarna putih bersih dengan pita emas yang ia letakkan di kursi mobil sampingnya.
Luhan sudah melihat beberapa jurnalis keluar dari kantor itu. Di antara mereka ada yang menuju halte bus, atau menaiki taksi. Bahkan ada yang membawa kendaraan sendiri. Tapi, Luhan masih belum melihat Jiyoung.
Luhan mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan menghubungi nomor Jiyoung. Operator yang menjawabnya dan menyuruhnya meninggalkan pesan. Luhan hanya berpikir mungkin baterainya habis atau semacamnya. Luhan masih tersenyum.
Sekarang Luhan keluar dari mobilnya. Dia sudah cukup menunggu lama. hingga akhirnya, Luhan melihat dua orang gadis keluar dan segera menanyainya, “Permisi, Apa kalian melihat jurnalis Kang Jiyoung?”
Ternyata gadis itu adalah Minyoung dan Yukyung. “Ah, kau menunggu Jiyoung?” tanya Minyoung. “Dia sudah pergi sejak sore tadi. Entah kemana.”
“Ah, kamsa hamnida.” Jawab Luhan sambil tersenyum.
“Ne.” balas Minyoung lalu melanjutkan langkahnya bersama Yukyung.
Rasa kecewa menjalari tubuh Luhan. Tak biasanya Jiyoung seperti ini, kalaupun seperti ini, selalu ada alasan. Luhan pun kembali memasuki mobilnya.
Luhan mencoba menghubungi nomor Jiyoung lagi, namun operator tetap menyuruhnya meninggalkan pesan. Luhan mematikannya, dan mulai menulis pesan: Ada apa? Kenapa kau tak bilang lebih awal untuk membatalkan janji?
Luhan menyentuh lagi kotak hadiah itu, kali ini dia membukanya dan mengeluarkan sebuah syal berwarna biru tua seperti miliknya yang ia dapat dari Jiyoung, namun syal yang ini lebih rapi dan terlihat sempurna. Luhan khusus memesannya dari butik kepercayaannya.
Harusnya syal itu ia berikan untuk Jiyoung. Bermaksud membuat Jiyoung juga bisa mengingatnya jika melihat syal itu. Dan bila dia sanggup dia akan mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Jiyoung. Namun karena seperti ini keadaannya, dia semakin ingin bicarakan semua itu.
***
Jiyoung sampai di depan pintu rumah Myungsoo, dengan ragu mengetuk pintunya dan mendapat pandangan penuh tanya dari Myungsoo saat membukanya.
“Aku… ingin tanyakan sesuatu padamu.” Kata Jiyoung setelah dipersilahkan masuk.
“Kau yakin ingin berurusan denganku?” tanya Myungsoo heran.
Jiyoung mengangguk mantab, “Kau… em.. meski ini kedengarannya sangat tidak sopan. Bisakah kau jawab dengan jujur?”
“Tergantung apa yang kau tanyakan.”
“Apa, kau Kim Myungsoo pewaris tunggal yang dikabarkan hilang itu? Kim Myungsoo pewaris tunggal grup Daehyun?” Jiyoung bertanya dengan sangat hati-hati.
Ekspresi Myungsoo seketika berubah. Dia shock berat ada seseorang yang menyadari ini. dan dia tak bisa menerimanya karena itu Kang Jiyoung, gadis yang ia anggap musuhnya selama ini. Jurnalis dari majalah saingannya. Myungsoo menahan segalanya agar tetap terlihat biasa saja. Namun kenyataan itu memang tak bisa ia pungkiri.
Jiyoung melihat perubahan ekspresi itu, sangat mencolok. Itu membuat Jiyoung percaya bahwa semua itu memang benar. Jiyoung bisa mengerti perasaan Myungsoo saat ini. takkan mudah mengatasi situasi seperti ini. Jiyoung sadar hal yang ia lakukan saat ini memang gila, tapi dia tak bisa tinggal diam dengan kasus yang satu ini. bahkan dengan melihat keadaan Myungsoo sekarang ini, dia semakin berniat untuk membantu Myungsoo, apa saja yang bisa membuat semuanya terungkap.
Myungsoo tertawa, tapi itu sangat pahit, “Apa yangkau bicarakan?”
“Jawab saja dengan jujur.” Kata Jiyoung sungguh-sungguh.
Melihat kesungguhan itu, Myungsoo agak luluh, namun sesuatu dalam dirinya menyuruhnya memerangi itu. “Apa kau kesini hanya untuk menanyaiku hal sebodoh itu?”
“Geurae, kalau memang menurutmu ini bodoh.” Jiyoung mengangguk. “Apa kematian orang tuamu yang begitu ganjil itu hanya hal yang bodoh bagimu?”
“Apa kau sudah gila? Cepat pergi dari sini!” Myungsoo mulai mengusir Jiyoung.
“Aku yakin aku benar. Dan aku sudah punya saksi yang membuktikan kau memang pewaris Daehyun. Kau tak bisa mengelak lagi dariku Kim Myungsoo.” Jelas Jiyoung tegas.
“Pergi!” Myungsoo kali ini mendorong Jiyoung dan membanting pintu di depan Jiyoung.
Myungsoo berdiri menahan tangis di belakang pintu itu. Matanya berkaca-kaca, otot wajahnya terlihat begitu jelas. Dia yang selama ini terlihat baik-baik saja meski mempunyai masalah seperti itu, tak bisa lagi menyembunyikan hal ini. dia tak sekuat kelihatannya. Dia tak sekuat yang diketahui oleh Jieun atau bahkan Jiyoung. Dia menyimpan begitu dalam luka atas tewasnya kedua orang tuanya dan perampasan perusahaan keluarganya itu hingga dia harus hidup seperti ini.
Jiyoung yang sedari tadi menggedor pintu Myungsoo akhirnya menyerah, dia pikir mungkin ini bukan saat yang tepat. Jiyoung pulang dengan rasa kecewa.
***
Jieun berkali-kali melihat sobekan kertas pemebrian Baekhyun. Ini adalah hari sabtu yang dibicarakan Baekhyun waktu itu. Sedah sejak semalam Jieun memikirkan hal itu. Dia sangat ingin kesana, meski seharusnya dia belum bisa mempercayai Baekhyun sepenuhnya. Dia memang hanya ingin bersenang-senang. Tapi hati kecilnya melarangnya bersenang-senang akiat perbuatan jahatnya selama ini pada satu-satunya temannya.
Dia membalik-balik kertas itu. Melipat-lipatnya bahkan sempat meremasnya. Sambil memandangi pemandangan di luar kaca mobil yang sedang melaju itu, dia bimbang. Benar-benar bimbang.
Namun tiba-tiba Jieun mengulurkan kertas itu pada sopirnya, “Kita pergi ke alamat ini sekarang.”
“Tapi bukankah nona harus pergi kursus?” tanya sopirnya.
“Tak akan ada yang tahu jika kau tak bicara.” Jawab Jieun.
Akhirnya sopinya menurut. Melajukan mobil itu menuju ke pinggiran kota Seoul dan ternyata menuju sebuah panti asuhan. Jieun turun setelah sampai dan melihat bangunan kuno yang terlihat jelas pada panti asuhan itu.
Karena mobil Jieun berhenti agak jauh, Jieun harus berjalan terlabih dahulu, saat itu juga dia melihat seseorang sedang beradu mulut dengan sekelompok orang yang bertubuh besar.
Jieun melihat sekeliling untuk melihat apa ada yang tahu dengan ketidak sopanan itu, tapi ternyata kawasan itu sangat sepi. Hanya ada beberapa rumah yang lebih terlihat seperti rumah kosong.
Sekarang Jieun menyadari bahwa orang itu adalah Baekhyun sendiri, sepertinya dia sedang berkutat dengan rentenir atau sejenisnya. Terlihat dari orang-orang bertubuh besar yang dibawanya. Tiba-tiba Baekhyun di hajar habis-habisan, membuat Jieun terkejut dan panic bukan main.
“Cepat keluar! Bantu lelaki itu!” Jieun meminta sopirnya yang meski tak bertubuh besar itu, namun ia benar-benar diakui keahlian bela dirinya. Oleh sebab itulah Appanya mempercayakan Jieun padanya.
Dengan sigap sopi jieun melumpuhkan semua orang itu dan menyelamatkan Jieun. Dan akhirnya masalah itu berakhir setelah Jieun memberi mereka cek dengan jumlah besar. Meski Baekhyun melarangnya, Jieun tak peduli. Dia rasa hanya denganbegitu Baekhyun bisa baik-baik saja.
Sekarang Jieun sudah berada di dalam salah satu ruangan di panti itu dan mengobati luka-luka Baekhyun dengan sangat hati-hati.
“Jeongmal gomawoyo.” Kata Baekhyun, dia masih bisa tersenyum dengan luka-lukanya itu.
Jieun diam saja, dia lebih fokus mengobati luka Baekhyun.
“Karenamu, mungkin hidup anak-anak disini jadi lebih baik. Mereka tidak akan ketakutan lagi para rentenir itu datang. Dan kau pasti mereka anggap peri.”
Jieun menatap Baekhyun sekarang, dengan tanda tanya.
Baekhyun meraih lengan Jieun dan menariknya membawanya keluar ke halaman tempat anak-anak penghuni panti asuhan itu bermain dan melakukan berbagai kegiatan mereka. Entah mengapa ada sesuatu yang hangat menjalari hati JIeun saat melihat itu semua.
“Dulunya aku juga tinggal disini.” Kata Baekhyun.
“Kau?” Jieun tak menyangka Baekhyun adalah seorang yatim piatu. Bukankah hidupnya juga cukup miris? Kenapa dia bisa seceria itu? Seakan tak ada suatu hal pun telah terjadi padanya.
Baekhyun mengangguk, “Pemilik panti bilang, seseorang mengantarkanku yang masih bayi ke tempat ini setelah dia menemukanku di tumpukan sampah dan hampir dimakan anjing liar.”
Mendengar cara Baekhyun menceritakan hidupnya yang sebenarnya sangat menyedihkan dengan sangat ringan membuat Jieun tak habis pikir, bahkan dia terlalu takut untuk mengaguminya.
“Eonni?” seorang gadis kecil bersama beberapa temannya menghampiri mereka berdua. “Kau peri yang menyelamatkan kami kan?”
Jieun tak bisa menjawab apa-apa. Dia hanya tertegun dengan itu semua.
Baekhyun tertawa melihat tingkah Jieun. “Geurae, geurae dia itu peri yang kalian impikan itu. Bukankah dia cantik?” Akhirnya Baekhyun yang bicara.
Jieun hanya memperhatikan Baekhyun, dan heran akan alasan Baekhyun bicara seperti itu.
Gadis-gadis kecil itu bersorak gembira. Bahkan beberapa anak lain juga ikut menghampiri Jieun. Beberapa diantaranya bahkan dengan senang hati memeluk Jieun erat. Membuat Jieun harus berdiri dengan lututnya.
Baekhyun senang sekali melihatnya. “Jieun-ah, sepertinya mereka menyukaimu, sangat menyukaimu.”
Tanpa sadar, Jieun tersenyum. Untuk pertama kalinya Baekhyun melihat itu. Bahkan Baekhyun tersihir oleh senyum cantik itu dan membuatnya terdiam.
Tiba-tiba seorang gadis yang umurnya lebih tua dari gadis-gadis yang tadi menghampiri Jieun, “Eonni! Jangan bilang kau pacar Baekhyun oppa!” katanya ketus.
Jieun hanya melihatnya.
“Baru kali ini dia membawa gadis kesini, apa kau benar pacarnya?” tanya gadis itu lagi. “Dia itu milik kami! Milikku!”
Sekarang Jieun sudah berdiri.
“Ya! Hyunji-ah.” Baekhyun menyentil pelan pelipis gadis itu. “Belajarlah, kau belum cukup umur untuk hal itu. Dan kau perlu banyak belajar jika ingin menjadi eonni ini. Kau takkan bisa menandinginya.”
Gadis itu kesal dan memajukan bibirnya berlebihan lalu pergi. “Oppa nabba!!!”
Baekhyun tertawa melihatnya.
“Sepertinya aku bisa membayangkan kesukaan mereka terhadapmu.” Kata Jieun saat dia dan Baekhyun duduk di kursi taman belakang panti.
“Karena mereka semua menganggap aku kakaknya. Dan mungkin mereka tak bisa mengelak dari pesonaku.” Baekhyun tertawa.
Itu tak bisa membuat Jieun tertawa atau sejenisnya. Dia diam saja membiarkan Baekhyun mengeksplor dirinya seluas mungkin.
“Dan sepertinya hidupmu sangat cerah. Begitu cerah hingga aku tak bisa melihatnya. Berbeda jauh denganku.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Jieun. Meski hal seperti itu tak biasa ia lakukan, ini terjadi begitu saja pada Baekhyun.
“Wae? Seperti apa hidupmu? Aku memang bisa melihat kemuramanmu setiap kita bertemu.”
“Mungkin aku harusnya tak layak hidup di dunia ini, atau bahkan di panggil peri oleh anak-anak itu.” Jawab Jieun. Entah emngapa dia merasa bebas mengucapkan itu semua dan mempercayai Baekhyun. Mungkin justru dia tak begitu mengenal Baekhyun ataupun sebaliknya, itulah yang membuatnya percaya dan bebas bicara. Karena Baekhyun takkan bisa melakukan apa-apa untuk punya urursan dengan Jieun.
“Seperti apa hidupmu?” Baekhyun bertanya dengan serius.
“Aku adalah gadis yang hanya mempunyai satu teman. Bahkan satu teman itu sudah aku hianati. Bayangkan saja aku hidup sebagai musuh dalam selimutnya. Aku baru mengetahui bahwa kami sebenarnya musuh dalam arti sebenarnya. Aku malah mendapat tugas melenyapkan musuh itu, setelah orang tuaku selesai melenyapkan kedua orang tuanya.”
Baekhyun tak bisa berkata apa-apa. Dia terlalu bingung mencerna cerita itu.
“Ani, aku tak di beri tugas. Aku yangmemutuskan untuk menerima tugas itu. Karena dengan begitu aku bisa memperlambatnya hilang dari dunia ini.” Jieun terus bicara sambil menatap lurus kedepan. Pandangannya kosong.
“Apa maksdunya ini? apa ini semua dalam arti sebenarnya? Kau harus membunuh temanmu sendiri karena sebenarnya keluargamu adalah musuh keluargannya?”
Jieun mengangguk, “Aku semakin tersiksa saat melihat betapa cerianya dia meski dia mendapat semua masalah itu. Bagaimana dia bisa sekuat itu? Itu malah membuatku tak tahu harus berbuat apa.”
“Lalu kenapa kau mau melakukannya jika tersiksa seperti ini?”
“Sudah terlambat, aku terlahir sebagai musuh bebuyutannya. Karena aku tak bisa menyelamatkannya, aku juga harus membunuhnya, seperti yang dilakukan orang tuaku pada orang tuanya.”
“Aku benar-benar tak menyangka hidupmu semacam ini.”
Kali ini Jieun menatap Baekhyun, “Wae? Apa kau menyesal mengenalku?”
“Ani, aku malah bersyukur mengenalmu. Mungkin Tuhan mengirimku padamu untuk menghentikan semua itu. Mencegahmu melakukan hal yang tak seharusnya kau lakukan.”
Jieun tersenyum kecut.
“Tak ada yang terlambat Jieun. Kau masih bisa merubah semuanya.” Kata Baekhyun sungguh-sungguh. “Bagaimanapun mereka orang tuamu. Mereka pasti akan mendengarkan penjelasanmu.”
“Aku hidup dalam keluarga yang berbeda Baekhyun. Aku tak bisa melakukan apa yang biasa anak keluarga lain lakukan pada orang tuanya. Begitu juga orang tuaku, mereka tak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan orang tua lain untuk anaknya.”
“Kau bisa lihat aku kan? Jika kau melihat dari sisi menyedihkan, Aku akan sangat menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Tapi lihatlah dari sisi lain. Kau bisa merasakan betapa bahagianya aku hidup di dunia ini sekarang kan?”
Semua kata-kata itu. Semua perkataan itu benar-benar memaksa Jieun meluluhkan hatinya akan semua masalahnya selama ini. Namun hati kecilnya kembali memberitahunya bahwa dia bahkan tak pantas melakukan pengapunan dosa dan bertobat. Kesalahannya pada Myungsoo, lelaki yang benar-benar ia cintai itu terlalu besar.
“Kau masih bisa mencegah semuanya Jieun-ah.. kau harus meminta maaf padanya/” kata Baekhyun sungguh-sungguh.
“Dia tak tahu. Dia tak tahu siapa aku sebenarnya. Kami memang berteman sejak lama, tapi aku menyembunyikan identitasku adanya. Aku sudah pernah ingin memberitahunya siapa aku. Tapi di saat itulah aku mengetahui kenyataan dia musuhku. Kami memang ditakdirkan dan dilahirkan sebagai musuh yang tak mungkin bisa bersatu.”
Kenyataan baru ini ternyata malah membuat Jieun serba salah. Baekhyun, satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya itu, bukankah dia juga terancam bahaya? Appanya bisa melakukan apa saja pada setiap orang yang menghalangi rencananya.
***
“Luhan!!!! Jeongmal mianhaeyo!!!!! Mianhae!! Mianhae…” kata Jiyoung setelah Luhan membukakan pintu apartemennya untuk Jiyoung.
“Jiyoung?” Luhan agak terkejut melihat Jiyoung.
“Aku benar-benar minta maaf. Waktu itu ponselku mati dan aku ada urusan mendadak jadi aku lupa memberitahumu.” Jelas Jiyoung setelah duduk bersama Luhan di sofanya.
Luhan tersenyum meski dia masih kecewa dengan hal itu, “Gwenchana.”
“Ah, kau ini kenapa tak pernah marah padaku? Marahi saja aku! Bukankah aku membuatmu kesal harus menunggu dan baru memberitahumu sekarang?”
Luhan benar-benar tersenyum tulus saat ini setelah melihat tingkah Jiyoung yang akan selalu membuatnya melunak. “Kau sudah menjelaskannya, aku tak perlu marah kan?”
“Kau yakin? Sudah hanya seperti itu?” tanya Jiyoung heran.
Luhan mengangguk.
“Kalau begitu berikan sekarang saja.”
“Mwo?”
“Barang yang akan kau berikan padaku.” Jawab Jiyoung sambil tersenyum.
Luhan tersenyum juga, “Aku rasa bukan sekarang.”
Jiyoung menekuk wajahnya, “Benarkah?” dia membuat gerakan seakan dia kecewa. “Baiklah, aku sudah selesai. Lebih baik aku pergi sekarang.” Jiyoung beranjak lalu berjalan menuju pintu.
Merasa tidak ingin melewatkan kesempatan lagi, Luhan segera berlari ke kamarnya dan mengambil kotak hadiah berisi syal itu.
“Jiyoung-ah!” panggil Luhan, dan Jiyoung pun menghentikan langkahnya.
“Ini untukmu.” Luhan mengulurkan kotak itu.
“Ini apa?” tanya Jiyoung penasaran sambil meraih kotak itu.
“Aku inginkau juga mengingatku dengan ini.” jawab Luhan.
Jiyoung membukanya dan tersenyum, “Kalau ini buatanmu pasti tak mungkin serapi ini. tak apalah aku menyukainya.” Jiyoung terlihat senang, “Sepertinya kalau kau membuatnya sendiri tidak akan lebih rapi dari milikku.” Jiyoung tertawa.
“Jiyoung-ah.” Luhan tak tertawa dengan cadaan Jiyoung.
“Wae?” Jiyoung heran dengan perubahan sikap itu.
“Aku tahu mungkin aku terlihat bodoh atau konyol. Tapi aku tak mau menyalah artikan persahabatan kita lagi. Nan neol joahae. Saranghae Jiyoung-ah…”
Jiyoung terpaku, lalu segera ia tertawa, meski dipaksakan. Jiyoung tahu itu tak mungkin suatu lelucon, Luhan bukan tipe orang seperti itu. Namun untuk mempercayainya juga sangat sulit. Lantas apa yang harus dia jawab, di saat ini terjadi pada sahabatnya sendiri? Jiyoung benar-benar bingung harus bagaimana.
“Kau yakin kau sedang sadar 100% sekarang?” tanya Jiyoung.
“Aku yakin. Jangan anggap aku main-main. Kau mengerti aku lebih dari siapapun.” Kata Luhan sungguh-sungguh, “Mian jika ini sangat mengejutkanmu. Aku hanya ingin segera memperjelas semuanya.”
***
Jiyoung mengetuk pintu rumah Myungsoo lagi. Kali ini dengan kemauan yang kuat. Beberapa kali setelah Jiyoung mengetuk, Myungsoo baru membukanya.
Karena melihat Jiyoung yang ada di hadapannya, Myungsoo sudah mau menutup lagi pintunya, namun Jiyoung menahannya dengan kakinya. “Kim Myungsoo, kau harus dengarkan aku!”
“Pulanglah kalau tujuanmu kesini hanya karena hal bodoh itu.” Myungsoo terus mendorong pintunya.
Dengan cepat Jiyoung mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya. “Apa kau sungguh-sungguh tak membutuhkan ini?”
Myungsoo sedikit goyah setelah melihat berkas-berkas yang sebenarnya itu dia butuhkan. Sepertsekian detik Myungsoo heran bagaimana bisa Jiyoung juga bisa mempunyai semua itu.
“Ini semua aku kumpulkan sejak dua tahun lalu.” jelas Jiyoung menjawab pertanyaan Myungsoo.
“Pulanglah!” Myungsoo tetap berusaha tak luluh pada Jiyoung, meski itu terasa sangat sulit untuknya. Entah mengapa dia bisa seperti itu pada Jiyoung. Kali ini Myungsoo berhasil menutup pintunya.
“Kim Myungsoo, dengarkan aku, bukankah ini menguntungkanmu?” Jiyoung menggedor pintu Myungsoo.
Setelah agak lama Jiyoung menggedor pintunya, tiba-tiba Myungsoo membukanya dan menarik Jiyoung masuk.
“Wae? Kau sduah menyerah?” tanya Jiyoung heran.
“Kau bisa membuatku di tending keluar dari daerah ini jika kau terus gaduh seperti itu.” Kata Myungsoo. “Baiklah, aku terima tawaranmu.” Myungsoo akhirnya tunduk pada Jiyoung. Dia merasa memang ini satu-satunya jalan untuk mengungkap kasus kematian orang tuanya.
Semenit kemudian, mereka berdua sudah berkutat dengan internet dari laptop Jiyoung. Mereka mencari berbagai informasi yang bisa menguatkan dugaan mereka. Mereka bertindak seperti detektif meski mereka sama sekali tak tahu bagaimana cara melakukannya.
“Kau, apa kau ingat bagaimana saat terakhir itu?” tanya Jiyoung, “Sudah jangan pikirkan hal-hal lain, jawab saja.”
Myungsoo dengan sangat sulit akhirnya menjawabnya, “Aku mengikuti mereka. Mobil mereka meledak di hadapanku. Jika aku lebih cepat sedikit saja, mungkin mereka bisa selamat.”
Jiyoung baru tahu itu, pasti sangat menyakitkan melihat itu semua. Jiyoung benar-benar tak menyangka Myungsoo sudah melalui itu semua dalam hidupnya. Jiyoung tak pernah punya bayangan dia akan bisa mewawancarai korban secara langsung seperti ini. seandainya saja Jiyoung mengetahui masalah Myungsoo lebih awal, mungkin dia sudah bergerak jauh.
“Aku sudah curiga mengapa mereka tiba-tiba pergi dari rumah dan mengendarai mobil mereka disaat yang sedang genting itu. Aku dengar saat itu perusahaan mengalami masalah besar, meski aku tak mau tahu apa itu.”
“Apa kau tahu siapa musuh perusahaan atau semacamnya?” tanya Jiyoung.
“Aku pernah dengar tentang JS grup, mereka nilang itu saingan utama Daehyun.” Jawab Myungsoo berusaha sesantai mungkin meski semua kenangan itu menyayat hatinya.
“Bukankah itu perusahaan yang nomor satu sekarang?” tanya Jiyoung lalu dia kembali berkutat dengan internet. Sangat lama cukup lama hingga saat Jiyoung berbalik kea rah Myungsoo, Myungsoo sudah tertidur di lantai.
“Ya! Kim Myungsoo!” teriakan Jiyoung tak berhasil membangunkan Myungsoo.
Hati Jiyoung tergetar setelah melihat wajah malaikat Myungsoo saat tidur. Wajah itu, selalu menahan ekspresi sedihnya karena semua masalah itu. Betapa kuatnya dia selama ini bertahan hidup. Tidak membunuh dirinya sendiri, itu sudah bagus. Bukankah dia sebatang kara sekarang?
Tanpa sadar Jiyoung sudah sangat dekat dengan kepala Myungsoo. Melihatnya lebih dekat, hanya itu saja. Tapi tiba-tiba Myungsoo membuka matanya, “Jangan bilang kau menyukaiku sekarang.”
Sontak Jiyoung membeku dan terpikirkan sesuatu yang terlintas di otaknya.
“Kau kenapa?” tanya Myungsoo melihat Jiyoung membeku seperti itu.
“Ani.” Jiyoung langsung kembali. “Aku sudah menemukan informasi tentang JS grup.
Jiyoung teringat oleh Luhan, saat mendengar kata-kata suka itu, dia langsung teringat Luhan. Orang yang tengah menyukainya saat ini. Tapi sampai sekarang Jiyoung tak bisa menjawab apa-apa pada Luhan.
“Informasi macam apa?” tanya Myungsoo.
“Keluarganya, saham-sahamnya, atau apa sajalah.” Jawab Jiyoung. “Mereka juga punya pewaris tunggal sepertimu, tapi seorang gadis.” Jelas Jiyoung.
“Pasti dia lebih hebat dariku.” Celetuk Myungsoo.
Sekarang Jiyoung memperlihatkan foto-foto mereka. “Presdirnya bernama Lee Jaeseong.”
“Itulah kenapa aku mencurigai perusahaan saingan Daehyun, karena di malam-malam terakhir orang tuaku, aku sering melihat orang itu datang ke rumah.” Myungsoo mengingat semua kejadian yang bisa ia ingat. Di saat seperti ini adalah saat dia paling menyesal karena dia dulu tak begitu peduli dengan masalah perusahaan Appanya, atau bahkan kesehatan Appanya dan masalah-masalah yang sedang dihadapi orang tuanya.
“Geurae, dalam kasus seperti ini, musuh utama memang patut dicurigai. Bukankah kecelakaan orang tuamu terlalu ganjil?” kata Jiyoung lalu membuka-buka foto lain. “Ah, ini anak mereka. Pewaris tunggal JS grup. Dia terlihat cerdas. Lee Jieun.”
Myungsoo yang sedari tadi berkutat pada ponselnya tiba-tiba terkejut mendengar perkataan Jiyoung. “Lee Jieun katamu?”
“Geurae, aku baru lihat fotonya. Sepertinya ini baru.” Jawab Jiyoung. Lalu menunjukkan fotonya pada Myungsoo.
Myungsoo mebuka matanya lebar-lebar. Wajah itu, wajah gadis dalam foto itu tak salah lagi, itu Lee Jieun yang ia kenal, “Lee Jieun?”
TO BECONTINUED.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar